Selasa, 24 Mei 2011

Awas, Pertambangan Batubara Sumber Krisis Air Kalimantan Terkini

Areal Persawahan di Kutai Kartanegara yang dikepung Tambang Batubara

Areal Persawahan di Kutai Kartanegara yang dikepung Tambang Batubara

Samarinda, 22 Maret 2010. Memperingati hari air sedunia 2010, JATAM Kaltim mengajak seluruh warga Kalimantan kembali memperhatikan keadaan air sungai, rawa, danau, mata air, air tanah dan laut karena kini telah mengalami ancaman yang paling serius. Kalimantan saat ini sedang terancam oleh meningkatnya proses-proses penghancuran ekologis. Bukan saja permasalahan konflik tenurial yang terus terjadi, ancaman terhadap kesehatan dan keberlanjutan produktifitas warga Kalimantan ini makin parah bersama hilangnya sumber-sumber air bersih warga.

Kalimantan dianugerahi satuan ekologik yang stabil, dimana tak dijumpai gunung berapi aktif, pun jalur gempa. Tetapi ceritanya lain ketika Kalimantan telah dirambah 2.475 ijin pertambangan batubara, yang telah, sedang dan akan merusak kawasan-kawasan tangkapan, serapan dan badan-badan air. Pertambangan batubara rakus lahan, air dan energi, menimbun rawa, membuat lubang raksasa yang digenangi air baracun, menghabiskan vegetasi hutan, serta memotong, mendangkalkan dan menghilangkan sungai bahkan mematikan mata air.

Pada 2009, JATAM Kaltim mencatat setidaknya 9 aliran sungai kecil yang hilang akibat kegiatan pertambangan. Sementara sungai Mahakam dengan panjang 900 Km yang melayani warga di Kabupatan Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Kota Samarinda juga mengalami penurunan kualitas, mengandung zat-zat beracun berbahaya, keruh, abrasi dan mengalami pendangkalan, memicu banjir kerap datang. Itu terjadi akibat akumulasi penggundulan hutan dan penggalian batubara.

Kegiatan pertambangan skala besar sepanjang sungai Kandilo. Di daerah aliran sungai Kandilo, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur, terdapat 8.009 kepala keluarga terganggu pasokan air bersihnya karena air sungai tercemar zat kimia berbahaya dan kekeruhan yang tinggi. Perusahaan Daerah Air Minum terpaksa menggunakan bahan kimia hingga empat kali biasanya. Begitu juga di DAS Bengalon Kutai Timur, terdapat 9.971 jiwa yang menggantungkan dan mengatur kosmologi hidupnya dengan sungai ini , terancam pasokan air bersih karena sungai tersebut menjadi tak layak lagi untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, tambang batubara juga membuat pengairan sawah di kampung Makroman, sebagai lumbung pangan Kota Samarinda, terancam rusak kawasan hulu persawahannya. Pola tanam mereka terganggu, mereka dipaksa mengganti pola tanam lahan sawah menjadi nugal (menanam di lahan kering). Bahkan tahun ini, sawah seluas 100 hektar terancam tidak berproduksi karena terancam tambang CV Arjuna yang luasnya 695,5 hektar, yang bukan hanya mencaplok di hulu persawahan bahkan sudah mematok kawasannya sampai ke lahan sawah rakyat. Tak hanya itu, banjir yang melanda beberapa kawasan di Kota Samarinda juga dipicu oleh kehadiran tambang batubara. Banjir semakin massif kala kawasan hulu Samarinda berubah menjadi kawasan pertambangan. Begitu pula yang dialami warga Tenggarong Seberang. Warga kampung Kertabuana kehilangan sumber air u persawahan, sebab 70 persen lahan sawah mereka dicaplok pertambangan batubara. Khal yang sama terjadi di kampung Mulawarman, kampung Bangun Rejo, dan kampung-kampung lain di berbagai wilayah di Kalimantan dimana tambang beroperasi. Berkurangnya pasokan air bersih akan menjadi sumber krisis warga.

JATAM Kaltim mengajak warga Kalimantan bergabung dalam Gerakan Anti Generasi Suram Kalimantan, untuk membangun solidaritas bersama melawan daya rusak industri keruk di Kalimantan. JATAM Kaltim mengajak warga Indonesia mendukung Petisi Anti generasi Suram Kalimantan.

Bahaya Batubara Terhadap Lingkungan Hidup

Batubara dianggap sebagai bahan bakar termurah di dunia. Namun, batubara jugamerupakan bahanbakar terkotor dan yang paling menyebabkan polusi. Walau demikian, banyak negara tetap menambangnya dan membangun pembangkit listrik dari hasil membakar batubara.Kemudahan bahanbakar ini secara umum menyimpan semua penderitaan yang disebabkannya.Setiap langkah pemrosesan bahanbakar ini sejak dari penambangannya sampai akhir pembakarannya membawa konsekuensi. Kerugian termasuk polusi bahan beracun, hilangnyamata pencaharian, tergusurnya masyarakat, dampak kesehatan pada system pernafasan dansyaraf, hujan asam, polusi udara dan menurunnya panen pertanian. Namun dari semua itu yangterparah adalah konsekuensi perubahan iklim yang akan berdampak pada semua negara danmasyarakat dunia, terutama negara-negara berkembang.Sebuah studi Greenpeace yang dilakukan pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa padatahun 2007 saja penggunaan batubara dunia telah merugikan dunia sebesar 360 milyar Euro.Jumlah ini tidak termasuk biaya besar dampak perubahan iklim dimana penyebab utamanyaadalah pembakaran batubara. Jumlah ini juga tidak memperhitungkan dampak eksternallangsung yang terkait dengan batubara yang termasuk di dalamnya kehilangan tempat tinggalmasyarakat, hilangnya warisan budaya dan alam, dan dampak-dampak sosial lainnya. Walautidak memperhitungkan biaya-biaya ini, yang jumlahnya sudah sangat besar, dapat memberikankita gambaran apa yang dikorbankan dunia ini demi penggunaan batu hitam ini.Di tengah-tengah ini semua adalah dampak yang dirasakan oleh masyarakat: yang bergantung pada pertanian, atau perikanan, atau pariwisata, yang tinggal di wilayah pantai, atauhutan dan gunung dimana batubara ditambang atau digali dari puncak-puncak bukit; ataumasyarakat kota yang mencoba untuk hidup damai di bawah bayang-bayang pembangkit listrik bertenaga batubara, atau dalam beberapa kasus yang tinggal dekat tambang-tambang batubara besar.Masyarakat ini adalah di antara korban-korban jangka panjang batubara yang tak terlihat,yang memikul beban penggunaan batubara dunia. Di seluruh dunia, masyarakat yang terdampak batubara ini berbagi cerita perjuangan yang sama.

BAHAYA PENAMBANGAN BATU BARA

Banjir hampir tidak pernah terjadi sebelum industri batubara mengubah kota ini. Sawahdan lahan pertanian masyarakat di sekitar kota juga terkena dampak buruk penambangan batubara. Desa Makroman, Samarinda Ilir dahulu dikenal sebagai lumbung beras bagi KotaSamarinda, namun predikat lumbung beras tersebut pudar sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa tersebut. Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalamikerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar oleh limbah pertambangan batubara yang seenaknya dibuang ke sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakatsetempat. Berbagai masalah kesehatan juga dialami masyarakat yang menetap di sekitar lokasi pertambangan. Di kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, pada tahun 2007 tercatat 19.375orang menderita penyakit yang terkait dengan pernafasan, meningkat sekitar 9% dari tahunsebelumnya. Data kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Bengalon, Kabupaten Sangatta, lokasidimana perusahaan tambang terbesar di Asia Tenggara beroperasi, PT. Kaltim Prima Coal, jugamenunjukkan kondisi serupa. Penyakit yang paling menjadi momok bagi masyarakat Bengalonadalah penyakit-penyakit yang terkait dengan pernapasan yang diduga akibat dampak dari pertambangan batubara, seperti ISPA, asma, bronchitis dan radang paru-paru akibat debu batubara.Pembakaran batubara menimbulkan jejak kerusakan yang lebih dahsyat dan merusak dibandingkan pertambangan batubara. Batubara adalah bahanbakar paling kotor, paling intesif karbon dari semua jenis bahanbakar fosil, mengemisi 29 persen lebih banyak karbon per unitenergi dibandingkan minyak bumi dan 80 persen lebih dari gas. Ini adalah penyebab terbesar perubahan iklim dengan emisi karbon dioksida. Pembakaran batubara juga melepas jumlah zat beracun lain seperti merkuri dan arsenik yang membahayakan kesehatan manusia danmenyebabkan dampak sangat buruk pada ekonomi negara berkembang
.
Kajian Komisi Eropa menganggap dampak perubahan iklim seperti kematian manusia(yaitu penurunan tingkat harapan hidup, kanker), morbiditas manusia (yaitu jumlah pasienrumahsakit penderita penyakit pernafasan, pengurangan hari kerja, serangan jantung),dampaknya pada material bangunan (yaitu penuaan baja galvanisasi, cat), panen (yaitu penurunan panen akibat penumpukan nitrogen oksida, sulfur dioksida, trioksida dan asam),hilangnya kenyamanan karena kebisingan atau hilangnya estetika, dan dampak penumpukanasam dan nitrogen pada ekosistem.

Pertama-tama, air dalam jumlah yang besar dibutuhkan untuk ³mencuci´ batubara danmendinginkan pengoperasian PLTU. Proses ini mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat.PLTU bertenaga batubara adalah sumber utama pengemisi polutan seperti sulfur dioksida,nitrogen oksida yang menyebabkan hujan asam dan pencemaran udara. Partikel batubara halusadalah penyebab utama penyakit yang berhubungan dengan radang paru-paru. Polutan yang berasal dari cerobong PLTU mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.Kerusakan yang diakibatkan oleh batubara tidak berhenti saat pembakarannya. Di akhir rantai ini ada pertambangan yang ditinggalkan, limbah pembakaran batubara, masyarakat yangdirugikan dan hamparan alam yang rusak. Bekas lubang galian batubara yang telah dikeruk habis berubah menjadi Drainase Tambang Asam (Acid Mine Drainage) yang sering berbentuk danaudan kolam raksasa.Bekas-bekas lubang galian batubara yang ditinggalkan begitu saja, seolah menjadifenomena biasa di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Padahal reklamasi areal pertambangan pasca dikeruk habis merupakan suatu yang wajib hukumnya bagi perusahaantambang berdasarkan aturan hukum yang berlaku di negeri ini. Jelas bahwa hukum diabaikan disini.Lubang galian yang ditinggalkan juga menyebabkan penurunan tanah, kerusakan padastruktur rumah, gedung, prasarana seperti jalan dan jembatan. Usaha-usaha untuk memperbaikikerusakan yang ditinggalkan setelah tambang ditutup tidak ada yang mencukupi. Bahkan jikalubang tambang ³direklamasi´ kembali tidak akan sepenuhnya pulih; masyarakat yang teracuniakan tetap terkontaminasi.Di dunia sains, adalah fakta umum bahwa pembakaran batubara menghasilkan kadmium, bahan beracun diklasifikasikan oleh Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat (USEnvironmental Protection Agency, US EPA) adalah termasuk sebagai penyebab kanker padamanusia; timbal, logam berat mematikan dan kromium heksavalen atau kromium VI. Kadmium,misalnya, adalah logam keperakan yang menempel pada debu batubara dan dikaitkan dengan penyakit jantung, ginjal, paru-paru dan hati. Selain itu Kromium VI adalah polutan udara beratyang tingkat bahayanya hanya dikalahkan oleh benzena. Kromium VI diketahui sebagai penyebab kuat kanker pary-paru dan dapat menghasilkan pendarahan dalam, dan kerusakan hati,ginjal dan pernafasan. Paparan terhadap Kromium VI berasal dari menara-menara pendingin pada PLTU.

Di Indonesia, seperti di banyak wilayah dunia, masyarakat mulai menyadari kenyataan pahit ketergantungan pada batubara untuk energi, serta mulai bergerak untuk membela hak mereka akan lingkungan yang bersih dan sehat. Gerakan-gerakan ini kuat dan mulaimendapatkan momentum. Pemerintah Indonesia harus mendengar seruan mereka danmeletakkan dasar pembangunan yang hijau dan adil lingkungan yang memastikan kesejahteraangenerasi-generasi mendatang negeri in

Sabtu, 21 Mei 2011

GREENPEACE ASIA TENGGARA

Batubara mematikan
Bagaimana rakyat Indonesia membayar mahal untuk bahanbakar terkotor di dunia
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL

Daftar isi
Bagian 1: Pengantar 4
Bagian 2: 6
Bagian 3: Jejak penghancuran batubara 8
16
26
Bagian 4: Kisah-kisah masyarakat
Batubara Indonesia
Bagian 5: Saatnya melakukan [R]evolusi Energi di Indonesia
gambar PLTU Cilacap ini terletak di daerah pemukiman
pesisir selatan Jawa. Disini, hampir 80% penduduknya hidup sebagai nelayan. PLTU ini telah mengganggu perairan tempat penduduk mencari ikan bahkan sebagian dari mereka telah kehilangan sumber nafkahnya.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:
afiyanto@greenpeace.org
Disusun oleh:
Arif Fiyanto
Greenpeace Asia Tenggara
Hindun Mulaika
Nur Hidayati
Nabiha Shahab
Lea Guerrero
Dicetak pada
100% kertas daur ulang
menggunakan tinta nabati.
Publikasi:
www.greenpeace.org/seasia
Walhi
greenpeace.org/seasia
©GREENPEACE / ARDILES RANTE
©GREENPEACE / ARDILES RANTE
g a m b a r Aktivis Greenpeace di atas perahu karet bergabung dengan nelayan lokal untuk
memperlihatkan spanduk bertuliskan “Batubara Mematikan” di depan PLTU Batubara Cilacap.
Pemerintah Indonesia berencana untuk membangun PLTU batubara baru dan memperluas yang
sudah ada seperti di Cilacap untuk menyediakan tambahan 10.000 mega watt kapasitas
pembangkit listrik. PLTU batubara mengakibatkan dampak kesehatan terhadap masyarakat lokal
dan menghacurkan matapencaharian mulai dari rusaknya lahan pertanian, dan berkurangnya
tangkapan ikan, serta berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Greenpeace mendesak
pemerintah Indonesia untuk menghentikan pembangunan PLTU batubara dan berinvestasi
terhadap pengembangan sumber-sumber energy terbarukan yang berlimpah di negeri ini, serta
mengadopsi program efisiensi energi skala besar.
4 Batubara Mematikan
Bagian 1: Pengantar
Batubara dianggap sebagai bahanbakar termurah di dunia. Namun,
batubara juga merupakan bahanbakar terkotor dan yang paling
menyebabkan polusi. Walau demikian, banyak negara tetap menambangnya
dan membangun pembangkit listrik dari hasil membakar
batubara. Kemudahan bahanbakar ini secara umum menyimpan
rapsemua penderitaan yang disebabkannya.
Setiap langkah pemrosesan bahanbakar ini – sejak dari penambangannya
sampai akhir pembakarannya – membawa konsekuensi.
Kerugian termasuk polusi bahan beracun, hilangnya mata pencaharian,
tergusurnya masyarakat, dampak kesehatan pada sistem
pernafasan dan syaraf, hujan asam, polusi udara dan menurunnya
panen pertanian. Namun dari semua itu yang terparah adalah
konsekuensi perubahan iklim yang akan berdampak pada semua
negara dan masyarakat dunia, terutama negara-negara berkembang.
Sebuah studi Greenpeace yang dilakukan pada tahun 2008
mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 saja penggunaan batubara
dunia telah merugikan dunia sebesar 360 milyar Euro1. Jumlah ini
tidak termasuk biaya besar dampak perubahan iklim dimana
penyebab utamanya adalah pembakaran batubara. Jumlah ini juga
tidak memperhitungkan dampak eksternal langsung yang terkait
dengan batubara – yang termasuk di dalamnya kehilangan tempat
tinggal masyarakat, hilangnya warisan budaya dan alam, dan
dampak-dampak sosial lainnya. Walau tidak memperhitungkan
biaya-biaya ini, yang jumlahnya sudah sangat besar, dapat memberikan
kita gambaran apa yang dikorbankan dunia ini demi penggunaan
batu hitam ini.
Di tengah-tengah ini semua adalah dampak yang dirasakan oleh
masyarakat: yang bergantung pada pertanian, atau perikanan, atau
pariwisata, yang tinggal di wilayah pantai, atau hutan dan gunung
dimana batubara ditambang atau digali dari puncak-puncak bukit;
atau masyarakat kota yang mencoba untuk hidup damai di bawah
bayang-bayang pembangkit listrik bertenaga batubara, atau dalam
beberapa kasus yang tinggal dekat tambang-tambang batubara
besar.
Masyarakat ini adalah di antara korban-korban jangka panjang
batubara yang tak terlihat, yang memikul beban penggunaan
batubara dunia. Di seluruh dunia, masyarakat yang terdampak
batubara ini berbagi cerita perjuangan yang sama.
Keadaannya tidak terlalu berbeda di Indonesia, negara yang barubaru
ini mengalami lonjakan penambangan batubara. Kota-kota
tambang seperti Samarinda, Cirebon dan Cilacap adalah kenyataan
pahit dari batubara, bahanbakar yang semakin umum digunakan ini.
Sementara batubara membawa kesejahteraan bagi segelintir orang,
banyak kota yang makin terjerumus dalam kesengsaraan. Penambangan
batubara juga memicu deforestasi, memperburuk perubahan
iklim yang sebagian besar disebabkannya.
Sangat gamblang bahwa batubara menyebabkan bahaya besar bagi
penduduk dan alam dunia ini. Dampak buruknya tidak bisa mengimbangi
keuntungan yang konon dibawakannya. Meninggalkan
pemanfaatan batubara adalah satu-satunya jalan. Bumi ini tidak akan
mampu menanggung kelanjutan penggunaannya – biaya kerugiannya
terhadap iklim, planet ini dan hidup kita terlalu tinggi.
Pemerintah harus menyadari bahwa tugas mereka adalah memastikan
masa depan yang dimotori oleh energi bersih dan terbarukan.
Dengan cara ini, kerusakan pada manusia dan kehidupan sosialnya serta
kerusakan ekologi dan dampak buruk perubahan iklim dapat dihindari.
Sayangnya, Pemerintah Indonesia ingin percaya bahwa batubara
adalah jawaban dari permintaan energi yang menjulang, serta tidak
bersedia mengakui potensi luar biasa dari energi terbarukan yang
sumbernya melimpah di negeri ini.
Pada kenyataannya biaya batubara yang sebenarnya menggarisbawahi
mendesaknya kebutuhan akan tindakan untuk menghindari
konsekuensi buruk masa depan yang ditenagai batubara.
Pemerintah harus memprioritaskan dan mendukung investasi hijau
yang akan membantu membawa Indonesia menuju jalur pertumbuhan
rendah-karbon,dan menghindari dipelihara dan diteruskannya
investasi yang menyebabkan deforestasi dan emisi penyebab
perubahan iklim. Intervensi-intervensi baru dibutuhkan untuk memastikan
masa depan Indonesia yang berkelanjutan. Hal ini memerlukan
lompatan teknologi, inovasi kebijakan yang berani dan solidaritas
baru antar kelas sosial dan generasi.
Batubara Mematikan 5
Pertambangan batubara
merupakan salah satu
ancaman terhadap
kelestarian hutan
Indonesia. Pertambangan
batubara merupakan
salah satu pemicu utama
deforestasi di Indonesia.
gambar Salah satu lokasi pertambangan batubara
di Kalimantan Timur. Dampak pertambangan batubara
mengakibatkan rusaknya bentang alam dan
hancurnya lingkungan di Kalimantan Timur.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
Bagian 2: Batubara Indonesia
timbunan batubara
dalam jumlah besar yang dibongkar
dari kapal pengangkut.
gambar
©GREENPEACE / JIRI REZAC
Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumberdaya alam.
Cadangan batubaranya yang besar membuat negri ini sebagai
produsen sekaligus eksportir utama batubara di dunia.
Berdasarkan data terakhir dari Statistik Energi Indonesia, perkiraan
cadangan batubara Indonesia adalah 104.940 miliar ton. Sedangkan
cadangan terukurnya sebesar 21.13 miliar ton2. Pada tahun 2009,
total produksi batubara Indonesia mencapai 263 juta ton, 230 juta
ton diantaranya diekspor ke berbagai negara, atau dengan kata lain
sekitar 87% dari total produksi batubara negeri ini diekspor ke luar
negeri. Hanya sekitar 13 persen atau 33 juta ton yang dimanfaatkan
untuk kebutuhan domestik3. Jumlah ini menempatkan Indonesia
sebagai produsen batubara terbesar kelima di dunia, dan pengekspor
batubara terbesar kedua di dunia.
Ekspor batubara terdiri dari 200 juta ton batubara (steam coal)4 dan
30 juta ton kokas (coking coal)5. Indonesia saat ini merupakan negara
eksportir batubara terbesar dunia setelah Australia dan merupakan
eksportir batubara terbesar Asia (Statistik Batubara, World Coal
Institute).
Sekitar 78 persen batubara diekspor ke pembeli di Jepang, Cina,
India, Australia dan Afrika dan selebihnya digunakan di dalam negeri.
Pada tahun 2010, Indonesia diperkirakan akan menghasilkan 280
juta ton batubara dengan 75 juta ton dialokasikan untuk penggunaan
dalam negeri.
Cadangan batubara total Indonesia tahun 2008 diperkirakan mencapai
104,76 milyar ton, tersebar dalam 12 lapisan batubara di lebih
dari 6 propinsi. Simpanan batubara besar di Indonesia terdapat di
Sumatra (50.1 %) dan Kalimantan (49.6 %). Selebihnya terdapat di
Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Sebagian besar cadangan batubara negeri ini tersebar hanya di tiga
provinsi, yaitu Sumatera Selatan (39%), Kalimantan Timur (34%) dan
Kalimantan Selatan (16%). Ketiga propinsi ini menguasai 89% dari
semua cadangan batubara terukur di Indonesia6. Pada tahun 2008,
batubara dari ketiga propinsi ini menyumbang 98,2% dari total
produksi Indonesia.
Konsumsi batubara dunia dalam beberapa tahun terakhir meningkat
sangat pesat. Pada tahun 1990 konsumsi batubara dunia baru
mencapai 3.461 juta ton, pada tahun 2009 konsumsi batubara dunia
sudah mencapai 5.990 juta ton7. Peningkatan konsumsi batubara dunia
peningkatan penggunaan batubara yang meningkat. Antara tahun
1999 dan 2006 saja, penggunaan batubara di seluruh dunia
melonjak sebesar 30%.
Sejalan dengan peningkatan permintaan batubara dunia yang terus
melaju cepat, pertumbuhan produksi perusahaan pertambangan
batubara di Indonesiapun meningkat pesat. Tercatat ada sekitar
tujuh perusahaan pertambangan batubara besar di Indonesia yang
mendominasi produksi batubara di negeri ini, antara lain PT. Kaltim
Prima Coal, PT.Adaro Indonesia, PT.Kideco Jaya Agung, PT.
Arutmin Indonesia, PT.Berau Coal, PT. Indominco Mandiri, dan PT.
Tambang Batubara Bukit Asam. Seluruh perusahaan tersebut
beroperasi di Pulau Kalimantan, kecuali PT. Tambang Batubara
Bukit Asam yang beroperasi di Sumatera Selatan.
Saat ini Pemerintah Indonesia berencana untuk mengurangi
penggunaan minyak bumi dan bergeser ke batubara dan gas
sebagai sumber utama untuk menghasilkan listrik. Tahapan
pertama dari program ini adalah rencana dibangunnya beberapa
PLTU (pembangkit listrik bertenaga uap) dengan bahanbakar
batubara sebesar 10.000 Megawatt. Program awalnya direncanakan
rampung pada tahun 2009, dengan dibangunnya 35 PLTU –
sepuluh diantaranya berada di Jawa dan selebihnya tersebar di
pulau-pulau lain di Indonesia. Namun, sejauh ini, kurang dari 60%
dari target ini telah tercapai.
6 Batubara Mematikan
yang sangat pesat ini dipicu oleh
peningkatan permintaan energi dunia
yang juga melonjak dari sekitar 2 juta
ton pada tahun 1985 hingga mencapai
263 juta ton pada tahun 2009.
Batubara digunakan untuk menghasilkan
sekitar 41% dari persediaan listrik
dunia8. Di Indonesia sendiri listrik yang
dihasilkan dari batubara mencapai
sekitar 14%9. Pemerintah menargetkan
pada tahun 2025, listrik yang dihasilkan
dari batubara akan mencapai
34,4%10. Tingkat permintaan energi
yang berlipat berkorelasi positif dengan
Pertambangan batu bara
dengan metode pertambangan terbuka
(open pit) skala besar di Kabupaten
Sangatta, Kalimantan Timur.
Aktivitas pertambangan batubara
skala kecil di Samarinda, Kalimantan Timur.
Sejak era otonomi daerah, ijin Kuasa
Pertambangan Batubara skala kecil sangat
banyak diterbitkan di Samarinda & sekitarnya.
©GREENPEACE / DANIEL BELTRÁ
gambar
Salah satu lokasi pertambangan
batubara di Kalimantan.
Pertambangan batubara merupakan
salah satu penyebab deforestasi
di Indonesia. Sebagian besar
pertambangan batubara di Kalimantan,
mempunyai konsensi tambang
di areal hutan.
Paleogenic (dark grey) and Neogenic (light grey)
coal distribution in Indonesia
sumber: ESDM (2009) Coal Statistics 2008,
Ministry of Energy and Mineral Resources
http://www.esdm.go.id/download/Statistik Batubara Indonesia.pdf
Setiawan, B., (2009) Indonesia’s Coal Policy, Dr. Ir. Bambang Setiawan, Director General of the Directorate General of Mineral, Coal and
Geothermal Ministry of Energy and Mineral Resource, Republic of Indonesia, Japan Coal Seminar Tokyo, 27th March 2009
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL ©GREENPEACE / HENRI ISMAIL ©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
Gambar
Gambar
G a m b a r Pertambangan batubara yang
ditinggalkan. Salah satu pertambangan
batubara di Kalimantan Timur yang ditinggalkan
setelah batubaranya dikeruk
habis. Lubang galian batubara tersebut
berubah menjadi danau yang penuh berisi
zat beracun yang membahayakan manusia.
Coal resources and reserves in Indonesia in billion tones
as of December 2008
Batubara Mematikan 7
Bagian 3: Jejak penghancuran batubara: dari galian ke gagasan
Kalimantan Coal Concessions, 2009
Greenpeace Southeast Asia
Batubara bisa saja tampak sebagai bahanbakar yang paling praktis
karena ketersediannya yang sangat besar. Namun, sejak dari
penambangannya, pembakarannya sampai pembuangan limbahnya,
dan di beberapa kasus, penggunaan kembalinya, batubara
menyebabkan dampak yang sangat buruk pada lingkungan, kesehatan
manusia dan kehidupan sosial dari masyarakat yang hidup dekat
tambang, proyek pembangkit listrik dan situs pembuangan limbah.
Selain emisi CO2-nya yang sangat besar ketika bahanbakar ini
dibakar, batubara juga berdampak buruk pada ekosistem, dan
mengkontaminasi persediaan air. Batubara mengemisi gas rumahkaca
lain seperti nitrogen oksidan dan metana, serta karbon dan
senyawa kimia beracun lainnya seperti arsenik dan merkuri yang
dapat merusak kesehatan mental manusia dan perkembangan fisik.
Kebocoran limbah dapat merusak stok ikan dan pertanian dengan
demikian juga mata pencaharian masyarakat.
Dengan kata lain, sepanjang proses produksinya atau rantai kepemilikannya,
batubara meninggalkan jejak kerusakan tak dapat diperbaiki
pada lingkungan dan kesehatan manusia.
PENAMBANGAN BATUBARA
Kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan batubara sudah
dimulai sejak awal rantai kepemilikannya. Penambangan batubara
juga menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki terhadap
tanah masyarakat, sumber air, udara, dan juga membahayakan
kesehatan, keamanan, dan penghidupan masyarakat yang tinggal di
sekitar lokasi pertambangan.
Pada pola operasinya yang paling merusak, pertambangan batubara
merubah puncak-puncak gunung menjadi lubang raksasa dengan
cara meledakkannya. Ini adalah cara termurah yang dipraktekkan
oleh banyak perusahaan pertambangan batubara di Indonesia.
Peledakan puncak gunung ini bertujuan untuk mencapai lapisan tipis
batubara yang terkubur dibawahnya. Jutaan ton limbah tambang dan
mineral dibuang ke lembah dan sungai dibawahnya. Praktek seperti
inilah yang menyebabkan kerusakan permanen pada ekosistem dan
lanskap. Praktek seperti ini juga mengubah banyak puncak-puncak
gunung di Kalimantan menjadi danau-danau raksasa yang penuh
dengan zat beracun dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
8 Batubara Mematikan
1. Penambangan batubara: ancaman nyata pada
hutan Indonesia yang tersisa
Di Indonesia, penambangan batubara juga bertanggungjawab pada
terjadi pembukaan hutan. Hampir seluruh perusahaan pertambangan
batubara besar di Indonesia, beroperasi dengan metode pertambangan
terbuka (open pit mining). Hanya pertambangan batubara di
Sawahlunto, Sumatera Barat yang menggunakan sistem pertambangan
bawah tanah. Dengan metode penambangan terbuka, tak pelak
lagi pertambangan batubara menjadi salah satu penyebab utama
meluasnya deforestasi di negeri ini.
Di Kalimantan Selatan dan Timur, kedua propinsi yang saat ini
tersedia peta batasan konsesinya, terdapat 400.000 hektar hutan
yang tersisa (2007), 323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi
batubara. Sejak tahun 2000, 85.000 ha di Kalimantan Selatan dan
9.000 ha di Kalimantan Timur hutan hilang karena konsesi batubara
tersebut.11
Total tutupan hutan yang berada dalam konsesi pertambangan di
kedua propinsi ini mencapai 723.000 ha atau 0,8% dari total wilayah
hutan Indonesia pada tahun 2005. Di Sumatra Selatan, dimana tidak
diperoleh peta batas konsesi, terdapat sedikit tutupan hutan yang
tersisa.12
Sebagi pembanding, menurut angka resmi dari badan PBB untuk
Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia kehilangan 1,87 juta ha hutan
per tahun antara tahun 2000 dan 2005.
Sejak tahun 1966 sampai 1987, eksplorasi dan produksi batubara
mengalami peningkatan pesat. Pada tahun 1966, produksi batubara
adalah sekitar 319.829 ton dan pada tahun 1987 melonjak menjadi
2.813.533 ton.13
Periode 1999-2008 merupakan masa lonjakan penambangan skala
kecil (terutama di Kalimantan), ketika undang-undang otonomi daerah
diberlakukan. Penerbitan ijin menjadi bagian dari kewenangan
pemerintah daerah propinsi dan kabupaten dan royalti dari penambangan
langsung menjadi penerimaan daerah propinsi dan kabupaten.
Ini juga merupakan masa periode merebaknya penambangan liar.
Sebagian besar operasi penambangan skala kecil tidak mempunyai
analisis dampak lingkungan (amdal) dan biasanya tidak mematuhi
rehabilitasi/restorasi situs setelah usainya penambangan. Selanjutnya,
korupsi dan lemahnya penegakan hukum serta dukungan dari
kepentingan kuat juga membuat tidak hilangnya operasi-operasi
penambangan ilegal.
Banyak perusahaan tidak mematuhi kewajiban mereka untuk
melakukan rehabilitasi. Laporan Kementrian Negara Lingkungan
Hidup memperkirakan bahwa pada tahun 2005, 56% wilayah-wilayah
yang ditinggalkan oleh pertambangan di Kalimantan Timur belum
direstorasi. Kriteria rehabilitasi lahan tidak didefinisikan secara jelas
dalam undang-undang, akibatnya sangat sulit untuk menilai kepatuhan
perusahaan-perusahaan ini14.
Usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi batubara
terlihat jelas pada Kebijakan Batubara Nasional (KBN). Rencana
untuk mengeksploitasi batubara mudah yang berkualitas rendah
(<5100 cal/gr) direncanakan dengan membangun pembangkit listrik
pada jalan-jalan masuk pertambangan.15
Grafik berikut menunjukkan proyeksi Kementrian Energi dan Sumberdaya
Mineral akan pertumbuhan produksi batubara, konsumsi
domestik dan ekspor sampai tahun 2025. Produksi batubara
diperkirakan meningkat 90% dari tahun 2006 sampai 2025, terutama
untuk konsumsi domestik dan direncanakan untuk memenuhi hampir
60% dari total produksi.16
Lonjakan penambangan batubara ini tampak mengakibatkan
kerusakan parah pada hutan karena penerbitan ijin penambangan
yang serampangan dari beberapa pemerintahan daerah. Hal ini
ditambah oleh lemahnya penegakan hukum kehutanan, lingkungan,
zonasi dan pertambangan.
Berdasarkan analisis mengunakan data tutupan hutan Departemen
Kehutanan, total ancaman dari konsesi pertambangan adalah 0,18
juta ha dari konsesi aktif dan 0,81 juta dari konsesi yang direncanakan
(0,08 juta status tidak tercatat), dengan total 1,1 juta ha. Di
antaranya, 0,94 juta ha terletak di Kalimantan dan 0,13 juta di
Sumatra.
Potret udara di Kalimantan secara jelas menunjukkan seberapa
banyak hutan yang telah hilang. Penebangan hutan berskala besar
telah menghancurkan hutan Kalimantan bertahun-tahun lalu.
Pada bulan Juni 2010, tim pemerintah pusat dengan Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad
Hatta dan beberapa orang anggota satuan tugas Presiden
untuk pemberantasan mafia hukum menyaksikan bahwa ratusan ribu
hektar wilayah hutan telah rusak akibat tambang legal dan ilegal di
Kalimantan Timur, menegaskan ekses buruk dari diberlakukannya
otonomi daerah pada tahun 2001.
Otonomi daerah melepas kewenangan memberikan ijin operasi
tambang umum (selain minyak bumi dan gas) kepada pemerintahan
daerah yang kemudian dikukuhkan kembali dengan undang-undang
pertambangan mineral dan batubara (Minerba) 2009. Hal ini
menyebabkan tambang menjadi penghancur hutan kedua terbesar
setelah penebangan liar dan pertanian tebang-bakar.
Tim pemerintah ini melihat dari udara ratusan lubang hitam besar
yang ditinggalkan oleh tambang-tambang terbuka. Lubang-lubang ini
seharusnya direklamasi dengan reforestasi oleh para pemegang
konsesi tambang.
Salah satu masalah utamanya terletak pada jeda panjang penegakan
undang-undang minerba 2009. Undang-undang ini jelas meregulasi
Batubara Mematikan 9
Indonesian Coal Mining Industry Projection
Hasibuan, S. (2007) Coal Supply Outlook in Indonesia,
Dr. Ir. Sukma Saleh Hasibuan Directur Directorate of Mineral,
Coal & Geothermal Program Supervision Ministry of Energy and
Mineral Resources (MEMR) Indonesia 16 October 2007
pembagian kewenangan dalam pengeluaran ijin tambang bersama
antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dengan
pembatasan wilayah yang terbuka untuk kontrak penambangan atau
disisihkan untuk wilayah pertambangan strategis di bawah jurisdiksi
langsung pemerintah pusat.
Tiga faktor utama diidentifikasi bertanggungjawab akan semrawutnya
pengaturan industri pertambangan dan mengakibatkan kerusakan
hutan.
Pertama, perubahan kebijakan penggunaan lahan dengan memperbolehkan
penambangan di wilayah hutan, termasuk wilayah lindung,
melalui dikeluarkannya ijin khusus yang disetujui oleh menteri
kehutanan.
Ijin-ijin ini diberikan pada perusahaan pertambangan dengan syarat
bahwa mereka telah memegang hak menambang di wilayah hutan
tersebut sebelum perubahan kebijakan lahan dibuat.
Pada awalnya hanya 13 perusahaan yang mendapat keistimewaan
ini, tapi pada bulan Mei 2010, 54 ijin dikeluarkan untuk di Kalimantan
Timur saja.
53 di antaranya dikeluarkan setelah dikeluarkannya sebuah undangundang
tahun 2008 yang menetapkan tingkat tarif untuk eksploitasi
produk non-kehutanan termasuk mineral dan batubara. Undangundang
ini sering dianggap sebagai usaha “menjual” wilayah-wilayah
hutan.
Kedua, peningkatan dramatis harga komoditas sebelum krisis
keuangan global meningkatkan penambangan dalam wilayah hutan.
Krisis keuangan menekan harga batubara, tapi sejak 2010, harga
batubara pulih kembali dan telah menyebabkan naiknya investasi di
sektor pertambangan.
Ketiga, desentralisasi penerbitan ijin konsesi tambang dikombinasi
dengan pemilihan kepala daerah langsung meningkatkan usaha
penerimaan daerah dan pencarian rente.
Saat ini, kehausan dunia akan batubara metalurgi atau kokas untuk
produksi baja mengancam hutan yang belum tersentuh di Kalimantan
Tengah.
2. Penambangan batubara: mengakibatkan polusi
air, banjir dan menyempitnya mata pencaharian
Samarinda, merupakan satu contoh tentang seberapa besar daya
rusak pertambangan merusak kehidupan masyarakat.
Bencana banjir, sebagian besar diakibatkan oleh deforestasi, adalah
mimpi buruk yang selalu menghantui penduduk Samarinda sejak
pertambangan batubara melonjak di sana tiga tahun terakhir. Hujan
10 Batubara Mematikan yang turun lebih dari dua jam, bisa dipastikan akan merubah beberapa
titik di pusat kota Samarinda menjadi kolam raksasa. Banjir hampir
tidak pernah terjadi sebelum industri batubara mengubah kota ini.
Sawah dan lahan pertanian masyarakat di sekitar kota juga terkena
dampak buruk penambangan batubara.
Desa Makroman, Samarinda Ilir dahulu dikenal sebagai lumbung
beras bagi Kota Samarinda, namun predikat lumbung beras tersebut
pudar sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar
desa tersebut. Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalami
kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar
oleh limbah pertambangan batubara yang seenaknya dibuang ke
sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.
Berbagai masalah kesehatan juga dialami masyarakat yang menetap
di sekitar lokasi pertambangan. Di kabupaten Kutai Barat, Kalimantan
Timur, pada tahun 2007 tercatat 19.375 orang menderita penyakit
yang terkait dengan pernafasan, meningkat sekitar 9% dari tahun
sebelumnya17. Data kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Bengalon,
Kabupaten Sangatta, lokasi dimana perusahaan tambang
terbesar di Asia Tenggara beroperasi, PT. Kaltim Prima Coal, juga
menunjukkan kondisi serupa. Penyakit yang paling menjadi momok
bagi masyarakat Bengalon adalah penyakit-penyakit yang terkait
dengan pernapasan yang diduga akibat dampak dari pertambangan
batubara, seperti ISPA, asma, bronchitis dan radang paru-paru
akibat debu batubara.
Kisah tragis tentang berbagai dampak buruk dari penambangan
batubara di negeri ini, menjadi lebih menyedihkan ketika hal itu
berkaitan dengan hak hidup dan hak atas tanah bagi masyarakat
adat yang telah tinggal di sekitar lokasi pertambangan secara turun
temurun selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Sejak tahun 1982,
masyarakat adat Dayak Paser terus menerus mengalami penggusuran
dan pengusiran paksa dari tanah, termasuk tanah keramat,
yang telah ditempati turun temurun untuk dijadikan areal pertambangan
oleh PT.Kideco Jaya Agung. Sekitar 27.000 hektar lahan mereka
digusur18 untuk lahan pertambangan, mereka bahkan dilarang
melakukan kegiatan apapun diatas tanah keramat mereka sendiri.
Nasib yang sama dialami oleh masyarakat adat Dayak Basap di
Kecamatan Bengalon, Sangatta. Masyarakat adat Dayak Basap yang
sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil
berburu dan berladang, kini kehilangan itu semua setelah PT. Kaltim
Prima Coal mulai beroperasi di tanah mereka sejak tahun 199219.
Setelah beberapa kali pindah dan tergusur, saat ini sebagian dari
mereka bermukim di Segading, hulu Sungai Lemba. Namun,
sepertinya tak lama lagi mereka pun harus terpaksa hengkang dari
tempat ini, karena PT. Kaltim Prima Coal akan segera memperluas
lubang galian mereka ke tempat dimana masyarakat adat Dayak
Basap bermukim saat ini.
g a m b a r Salah Satu Lokasi Pertambangan
Batubara skala besar di Kabupaten Sangatta,
Kalimantan Timur.
Lokasi pertambangan
batubara skala besar di
Kabupaten Sangatta,
Kalimantan Timur.
Bentangan alam yang
sebelumnya merupakan
merupakan hutan atau
gunung berubah menjadi
danau raksasa yang
penuh zat berbahaya.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
Batubara Mematikan 11
3. Polusi pembangkit listrik bertenaga batubara:
berdampak pada kesehatan dan lingkungan
Pembakaran batubara menimbulkan jejak kerusakan yang lebih
dahsyat dan merusak dibandingkan pertambangan batubara.
Batubara adalah bahanbakar paling kotor, paling intesif karbon dari
semua jenis bahanbakar fosil, mengemisi 29 persen lebih banyak
karbon per unit energi dibandingkan minyak bumi dan 80 persen
lebih dari gas20. Ini adalah penyebab terbesar perubahan iklim
dengan emisi karbon dioksida.
Pembakaran batubara juga melepas jumlah zat beracun lain seperti
merkuri dan arsenik yang membahayakan kesehatan manusia dan
menyebabkan dampak sangat buruk pada ekonomi negara berkembang.
Menurut hasil kajian Biaya Eksternal yang dilakukan oleh Komisi
Eropa (European Commission, EC) pada tahun 200321 mengenai
beberapa jenis pembangkit listrik, PLTU bertenaga batubara tercatat
sebagai pembawa biaya eksternal tertinggi. Sebaliknya, sumbersumber
energi terbarukan menunjukkan biaya eksternal terendah.
Biaya eksternal juga muncul pada saat kegiatan sosial atau ekonomi,
misalnya pada saat tambang batubara atau PLTU bertenaga
batubara berdampak pada sekelompok orang dan saat dampak
tersebut tidak seluruhnya dihitung atau dikompensasi.
Dengan demikian biaya eksternal terjadi bila misalnya saat sebuah
PLTU yang mengemisi sulfur dioksida yang menyebabkan hujan
asam atau emisi merkuri yang merusak kesehatan manusia. Biaya
lingkungan dan sosial “dieksternalkan” karena walaupun biaya ini
nyata bagi anggota masyarakat terdampak, tapi pengelola PLTU
tidak menghitungnya saat pengambilan keputusan sebagai dasar
kegiatan ekonomi mereka.
Kajian Komisi Eropa menganggap dampak perubahan iklim seperti
kematian manusia (yaitu penurunan tingkat harapan hidup, kanker),
morbiditas manusia (yaitu jumlah pasien rumahsakit penderita
penyakit pernafasan, pengurangan hari kerja, serangan jantung),
dampaknya pada material bangunan (yaitu penuaan baja galvanisasi,
cat), panen (yaitu penurunan panen akibat penumpukan nitrogen
oksida, sulfur dioksida, trioksida dan asam), hilangnya kenyamanan22
karena kebisingan atau hilangnya estetika, dan dampak penumpukan
asam dan nitrogen pada ekosistem.
12 Batubara Mematikan
Biaya eksternal ini sangat luarbiasa. Dan masyarakat yang bertetangga
dengan PLTU bertenaga batubara yang akhirnya menanggung
biaya dampak pembakaran batubara untuk energi.
Pertama-tama, air dalam jumlah yang besar dibutuhkan untuk
“mencuci” batubara dan mendinginkan pengoperasian PLTU. Proses
ini mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat.
PLTU bertenaga batubara adalah sumber utama pengemisi polutan
seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida yang menyebabkan hujan
asam dan pencemaran udara. Partikel batubara halus adalah
penyebab utama penyakit yang berhubungan dengan radang
paru-paru.
Polutan yang berasal dari cerobong PLTU mengancam kesehatan
masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.
g a m b a r PLTU Batubara.
Saat ini terdapat hampir 40% lebih banyak
karbondioksida di atmosfer dibandingkan
sebelum Revolusi Industri. Tingkat CO2 saat
ini lebih tinggi dibanding saat manapun
dalam 650.000 tahun terakhir.
©GREENPEACE / STEVE MORGAN
Anak-anak sedang mengaji di mesjid di
perumahan terdekat dengan PLTU batubara Cilacap.
Tampak jelas bangunan PLTU Cilacap dari jendela.
Sejumlah besar masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU
Cilacap menderita penyakit-penyakit yang terkait
dengan pernafasan.
gambar
Ancaman Merkuri
PLTU bertenaga batubara adalah salah satu dari sumber pengemisi bahan berbahaya terbesar. Di Amerika Serikat, PLTU bertenaga
batubara diidentifikasi sebagai sumber terbesar emisi merkuri23.
Merkuri adalah zat yang sangat berbahaya – diperlukan hanya 0,91 gram merkuri yang diakumulasi selama setahun untuk mengkontaminasi
danau seluas 10 hektar. Ikan yang ditangkap di danau ini tidak layak dikonsumsi manusia24. Rata-rata PLTU bertenaga
batubara berkapasitas 100-MW mengemisi kurang lebih 11,34 kg merkuri tiap tahunnya25.
Merkuri adalah logam yang sangat berbahaya dan tidak memiliki fungsi biokimia atau nutrisi. Sebagian besar dampak racun zat ini
terjadi bila paparannya mencapai sistem syaraf pusat26.
Merkuri dapat menyebabkan kerusakan otak berat pada janin serta gejala tremor ringan kelainan mental, gangguan motorik dan emosi
bahkan kematian pada orang dewasa. Paparan merkuri tergantung pada bentuknya. Uap merkuri dan metil merkuri merupakan bentuk
yang paling memungkinkan mengenai manusia karena dalam bentuk ini zat tersebut dapat hampir seluruhnya diserap tubuh.
Saat merkuri memasuki air – apakah secara langsung atau terikat melalui udara – proses biologis mentransformasinya menjadi metil
merkuri, bentuk merkuri yang lebih beracun dan berbioakumulasi dalam ikan dan hewan lain yang memakan ikan dan manusia. Saat
suatu zat berbioakumulasi, konsentrasinya meningkat seiring bergeraknya pada rantai makanan.27
Boks 1
Batubara Mematikan 13
©GREENPEACE / ARDILES RANTE
Metil Merkuri dan Resiko Besarnya
terhadap anak-anak
Boks 2
Menurut kajian baru-baru ini oleh Akademi Sains Nasional Amerika Serikat (US National Academy
of Sciences, US-NAS), "terdapat bukti kuat keracunan metil merkuri pada syaraf janin, walau pada
paparan konsentrasi sangat rendah." Paparan metil merkuri yang diemisi oleh fasilitas bertenaga
batubara "menyebabkan secara permanen hilangnya intelegensia pada ratusan bayi yang lahir
tiap tahunnya28.”
Berdasarkan kajian US-NAS tersebut, hilangnya intelegensia ini "menyebabkan hilangnya
produktivitas ekonomi yang bertahan seumur hidup anak-anak ini. Kehilangan produktivitas ini
adalah biaya utama keracunan metil merkuri29.”
Jika PLTU bertenaga batubara dibiarkan berkembang di seantero negri, berapa biaya yang
ditanggung Indonesia dalam hal hilangnya produktivitas karena resiko serupa seperti hilangnya
intelegensia seumur hidup banyak bayi yang terpapar emisi metil merkuri dari PLTU bertenaga
batubara?
Dampak buruk PLTU bertenaga batubara pada masyarakat yang hidup dekat PLTU terlihat di
Cirebon dekat sebuah PLTU yang dibangun di pinggir pantai.
Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura dahulu dikenal sebagi sentra garam dan terasi tradisional di
wilayah Cirebon. Namun sekarang itu semua telah jadi kenangan. Ribuan meter ladang garam
petani garam tradisional telah digusur untuk dijadikan lokasi pembangunan PLTU. Puluhan
nelayan udang rebon dan industri rumah tangga terasi telah gulung tikar dan kehilangan matapencaharian
mereka akibat pencemaran disekitar perairan tempat dulu dimana mereka mendapatkan
udang rebon sebagai bahan baku terasi tradisional.
Nelayan kerang hijau (perna viridis) di Desa Waruduwur juga mengalami masalah yang sama.
Puluhan nelayan kerang hijau mengalami kerugian miliaran rupiah, akibat kerang hijaunya tak layak
lagi dikonsumsi akibat tercemar lumpur yang disebabkan oleh aktivitas pengurugan dalam proses
konstruksi PLTU Cirebon.
Daya rusak dari pembakaran batubara terus berlanjut dan bahkan semakin memburuk ketika
PLTU tenaga batubara mulai beroperasi di suatu wilayah tertentu, sebagaimana dialami oleh
masyarakat yang menetap disekitar PLTU Karangkandri, Cilacap.
PLTU Karangkandri, Cilacap mulai beroperasi pada bulan Mei 2006, dengan kapasitas total 600
Megawatt. Sejak awal beoperasi PLTU Cilacap sudah mulai menimbulkan berbagai masalah yang
langsung dialami oleh masyarakat sekitar. Mulai dari suara berdengung yang terus menerus
terdengar dari PLTU, debu batubara yang memaksa puluhan penduduk pindah dari Perumahan
Griya Kencana Permai, salah satu lokasi pemukiman yang paling dekat dengan PLTU Cilacap.
Berkurang drastisnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan di sekitar PLTU Cilacap dan dampak
buruk pada kesehatan yang dialami oleh masyarakat yang tinggal disekitar PLTU tersebut.
Pada bulan Februari 2009, Greenpeace bersama Komite Aspirasi Masyarakat (KAM) Cilacap
melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap masyarakat yang tinggal disekitar PLTU Karangkandri.
Hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan dari 562 warga yang diperiksa, 60% mengalami
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), 20 persen bronchitis, 10 persen faringitis, 10 persen
menderita penyakit lainnya.
Ibu Munjiah, 50 tahun, menghabiskan hari-harinya di rumah setelah dia didiagnosis menderita
penyakit paru-paru kronis. Dalam hasil foto rontgennya ditemukan partikel-partikel debu batubara
di paru-parunya. Kini dia tidak bisa lagi bekerja di sawah, karena kondisi tubuhnya yang terlalu
lemah. Apa yang dialami Ibu Munjiah mungkin bukan masalah yang asing di desa-desa sekitar
PLTU Cilacap. Menurut penelitian kesehatan yang dilakukan Greenpeace pada bulan Agustus
tahun 2008, 80% masyarakat yang tinggal disekitar PLTU Cilacap mengalami penyakit-penyakit
pernafasan yang diduga diakibatkan debu batubara.
14 Batubara Mematikan
©GREENPEACE / ARDILES RANTE
4. Limbah batubara: warisan yang kotor
Kerusakan yang diakibatkan oleh batubara tidak berhenti saat
pembakarannya. Di akhir rantai ini ada pertambangan yang ditinggalkan,
limbah pembakaran batubara, masyarakat yang dirugikan dan
hamparan alam yang rusak. Bekas lubang galian batubara yang telah
dikeruk habis berubah menjadi Drainase Tambang Asam (Acid Mine
Drainage) yang sering berbentuk danau dan kolam raksasa.
Jika kita terbang diatas kota Samarinda dan wilayah kabupaten Kutai
Kertanegara, kita akan disuguhi dengan pemandangan puluhan
danau dan kolam raksasa dengan air berwarna kelam kehijauan.
Dipandang dari kejauhan danau-danau tersebut tampak indah,
namun sesungguhnya danau dan kolam raksasa bekas lubang galian
batubara itu menyimpan bahaya besar terhadap masyarakat yang
tinggal disekitarnya. Air hujan yang bercampur dengan limbah logam
berat dari aktivitas penambangan batubara akan berakibat sangat
serius bagi kesehatan masyarakat sekitar jika mencemari sumber air
tanah dan sumber air masyarakat.
Bekas-bekas lubang galian batubara yang ditinggalkan begitu saja,
seolah menjadi fenomena biasa di wilayah Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan. Padahal reklamasi areal pertambangan pasca
dikeruk habis merupakan suatu yang wajib hukumnya bagi perusahaan
tambang berdasarkan aturan hukum yang berlaku di negeri ini.
Jelas bahwa hukum diabaikan di sini.
Di Kalimantan Selatan misalnya, dari 16 perusahaan pemegang
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
yang memiliki ijin konsesi seluas 236.367 hektar, baru sekitar 3.132
hektar yang telah direklamasi dari sekitar 20.000 hektar areal bukaan
tambang batubara30.
Lubang galian yang ditinggalkan juga menyebabkan penurunan tanah,
kerusakan pada struktur rumah, gedung, prasarana seperti jalan dan
jembatan. Usaha-usaha untuk memperbaiki kerusakan yang ditinggalkan
setelah tambang ditutup tidak ada yang mencukupi. Bahkan jika
lubang tambang “direklamasi” kembali tidak akan sepenuhnya pulih;
masyarakat yang teracuni akan tetap terkontaminasi.
Di dunia sains, adalah fakta umum bahwa pembakaran batubara
menghasilkan kadmium, bahan beracun diklasifikasikan oleh Badan
Proteksi Lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Protection
Agency, US EPA) adalah termasuk sebagai penyebab kanker pada
manusia; timbal, logam berat mematikan dan kromium heksavalen
atau kromium VI. Kadmium, misalnya, adalah logam keperakan yang
menempel pada debu batubara dan dikaitkan dengan penyakit
jantung, ginjal, paru-paru dan hati. Selain itu Kromium VI adalah
polutan udara berat yang tingkat bahayanya hanya dikalahkan oleh
benzena. Kromium VI diketahui sebagai penyebab kuat kanker
pary-paru dan dapat menghasilkan pendarahan dalam, dan kerusakan
hati, ginjal dan pernafasan. Paparan terhadap Kromium VI
berasal dari menara-menara pendingin pada PLTU31.
Batubara Mematikan 15
g a m b a r Anak-anak kampung sekitar bermain di depan rumah
mereka berlatar menara pendingin PLTU Cilacap. Anak-anak ini
memiliki satu kesamaan: batuk yang terus menerus, disebabkan
oleh polusi zat beracun dari PLTU.
g a m b a r Ibu Soniya, masyarakat Samarinda Utara
yang mata pencahariannya rusak akibat beroperasinya
tambang batubara di sekitar tempat tinggalnya.
Ibu Soniya, penduduk Samarinda Utara
Bagian 4: kisah-kisah masyarakat
g a m b a r Pak Atek, pemilik kolam pemancingan
ikan di Samarinda Utara. Sejak pertambangan
beroperasi di desanya, banyak kolam ikannya
yang rusak akibat limbah dari pertambangan.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
“Sejak pertambangan batubara beroperasi di desa
kami, sawah dan kolam ikan saya rusak akibat
limbah dari pertambangan, selain itu kami juga
kehilangan sumber air untuk minum dan mandi,
karena air sungai di belakang rumah kami sudah tak
layak lagi dikonsumsi.”
Pak Atek, pemilik kolam ikan
mengatakan bahwa kolamnya sekarang tercemar
akibat limbah dari pertambangan batubara.
16 Batubara Mematikan
©GREENPEACE / NAMA FOTOGRAFER
A. Samarinda: Ibukota penambangan batubara
Indonesia
Jika ada kategori rekor dunia untuk kota dengan proporsi wilayah
terbesar untuk pertambangan batubara, Samarinda pastilah juaranya.
Sekitar 70% dari total luas wilayah Samarinda yang sebesar 71.823
ha telah habis dikavling oleh perusahaan tambang sebagai kawasan
pertambangan batubara.
Samarinda layak juga dinobatkan sebagai ibukota tambang batubara
Indonesia. Di kota ini semua dampak merusak dari pertambangan
batubara dapat kita saksikan, mulai dari hilangnya mata pencaharian,
bencana banjir, kerusakan lingkungan sampai lubang-lubang galian
bekas tambang batubara yang menganga di tengah kota.
Kehilangan mata pencaharian
Ibu Soniya, 40 tahun, penduduk Samarinda Utara menuturkan
masalah yang dialaminya dengan geram: “Sejak pertambangan
batubara beroperasi di desa kami, sawah dan kolam ikan saya rusak
akibat limbah dari pertambangan, selain itu kami juga kehilangan
sumber air untuk minum dan mandi, karena air sungai di belakang
rumah kami sudah tak layak lagi dikonsumsi.32”
Penduduk Desa Rimbawan, Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan
Samarinda Utara tiga tahun terakhir ini mulai merasakan dampak
negatif dari pertambangan batubara yang beroperasi di wilayah desa
mereka. Limbah dari pertambangan batubara membuat sawah
mereka rusak, dan mengakibatkan gagal panen. Sungai Rimbawan
yang ada di belakang pemukiman merekapun sudah tidak bisa
dimanfaatkan lagi karena airnya yang tercemar. Sebelum pertambangan
batubara mulai beroperasi, Sungai Rimbawan merupakan
sumber air minum dan mandi bagi masyarakat setempat.
Pak Atek, pemilik kolam ikan, mengatakan bahwa kolamnya
sekarang tercemar akibat limbah dari pertambangan batubara.
Namun Pak Atek masih merasa jauh lebih beruntung. Dibandingkan
Ibu Soniya dan banyak lagi tetangganya, dia masih punya kolam
pancing sewaan, yang menjadi penopang hidup keluarganya.
Banjir
Sebelum pengerukan batubara meningkat drastis di ibukota Kalimantan
Timur ini, banjir bukanlah ancaman serius untuk masyarakat
Samarinda. Banjir yang relatif besar hanya datang dalam siklus 5
tahunan atau 10 tahunan sekali. Namun sejak 3 tahun terakhir, air
bah melanda kota ini berulang kali bahkan bisa berlangsung sepanjang
musim hujan. Menurut Ibu Soniya, yang tinggal di kecamatan
Samarinda Utara, jika hujan lebat turun lebih dari dua jam, maka bisa
dipastikan beberapa titik di wilayah Samarinda Utara akan terendam
air.
Lia, seorang mahasiswi Universitas Mulawarman, menuturkan
bahwa: “sejak 2 tahun terakhir ini, banjir benar-benar mengganggu
aktivitas saya sebagai mahasiswa. Pernah saya dan seorang teman
nyaris hanyut oleh air bah, ketika banjir melanda kampus saya.”33
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengerukan batubara
yang membabibuta dan serampangan tidak saja merugikan
masyarakat secara langsung, namun juga membebani pemerintah
kota Samarinda. Menurut data yang dilansir Jaringan Advokasi
Tambang, pada tahun 2008 saja, PAD dari pertambangan batubara
yang didapatkan oleh Pemerintah Kota Samarinda hanya sebesar
399 Juta, atau hanya sekitar 4% dari total PAD tahunan Kota
Samarinda yang sebesar 112,5 miliar.34 Semakin sering terjadinya
bencana banjir berarti Pemerintah Kota Samarinda harus mengeluarkan
biaya puluhan milyar untuk membangun pintu air, bendungan
dan infrastruktur lainnya.
Batubara Mematikan 17
Aktivitas tongkang pengangkut batubara di Sungai Mahakam.
Sungai Mahakam yang membelah Samarinda merupakan jalur utama
tongkang batubara sebelum dimuat ke kapa-kapal pengangkut batubara.
gambar
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
Lubang tambang di tengah kota
Jika kita terbang diatas Kota Samarinda, kita akan menyaksikan
ratusan lubang tambang batubara yang ada hampir disetiap sudut
kota ini. Sebagian lubang tambang tersebut kini sudah berubah
menjadi danau-danau beracun, ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan
tambang, setelah mereka puas mengeruk batubara dari perut
bumi. Sebagian besar lubang ini terdapat di Sempaja, salah satu
kecamatan hanya 15 km dari pusat kota.
Ironi kemiskinan di kota emas hitam
Batubara juga dikenal dengan sebutan emas hitam di kalangan
pengusaha batubara. Komoditas ini telah membuat para pengusaha
menjadi orang-orang super kaya di negeri dengan sekitar 32 juta
penduduk super miskin dengan pendapatan di bawah 7.000 rupiah
perhari35. Hampir semua dari 10 orang terkaya di Indonesia pada
tahun 2009 merupakan pengusaha-pengusaha yang bergerak dalam
sektor ekstaktif, seperti pengerukan batubara dan perkebunan
sawit.36
Namun batubara hanya membawa kekayaan luar biasa untuk
segelintir orang. Tidak semua yang bekerja di industri ini memetik
keuntungannya. Bila adapun, pertambangan batubara hanya
mengembalikan sangat sedikit untuk penduduk Samarinda yang
kotanya dijadikan kota limbah.
Misalnya untuk Ibu Yanti, seorang penduduk Kelurahan Selili,
Kecamatan Samarinda Timur. Rumahnya sangat dekat dengan
wilayah pertambangan di Samarinda. Pemerintah daerah mengidentifikasinya
sebagai salah satu dari juta penduduk miskin di negri ini
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sehari-hari Ibu Yanti dan
puluhan warga sedesanya menjadi buruh di pertambangan batubara
skala kecil yang terdapat dekat rumahnya, mereka biasa menyebut
diri mereka sebagai buruh KPC, bukan buruh PT. Kaltim Prima Coal
tentu saja, KPC buat mereka adalah singkatan dari “Karungan Prima
Coal”.
Pekerjaan mereka adalah memasukkan bongkahan-bongkahan
batubara yang baru saja dikeruk kedalam karung plastik. Setelah
penuh karung berukuran 50 kg itu harus mereka jahit sendiri, setiap
karung yang terisi penuh dihargai sebesar 800 rupiah. Tak jarang Ibu
Yanti dan belasan temannya harus bekerja sejak siang hari sampai
dinihari di hari berikutnya.
18 Batubara Mematikan
“Sejak di PHK dari tempat kerja saya yang lama, saya tak punya
pilihan lagi selain bekerja sebagai buruh pemungut batubara. Sering
saya sedih melihat teman saya yang meski sedang hamil tua harus
tetap bekerja. Kami memang tak punya pilihan selain bekerja di
tempat ini,” jelasnya37.
Pejabat pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal selalu
mengklaim bahwa keberadaan pertambangan batubara di Kalimantan
Timur, khususnya Samarinda, akan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar. Namun kenyataan yang dialami masyarakat
adalah sebaliknya: sejak meningkatnya pertambangan batubara
dalam empat tahun terakhir ini di Samarinda, masyarakat malah
merugi. Klaim kesejahteraan dari tambang batubara yang dijanjikan
pemerintah ternyata palsu. Terbukti dengan peningkatan bencana
banjir karena perubahan drastis dan tiba-tiba dari topografi
sekitarnya, serta hilangnya sumber penghidupan masyarakat dan
peningkatan kemiskinan – yang semua justru terjadi di kota yang
berlimpah dengan emas hitam itu.
g a m b a r Pasangan Suami Istri,
Komari (71 thn) dan Nurbeti (55 thn),
petani kecil di Desa Makroman,
Samarinda Ilir, yang sawahnya rusak
akibat aktivitas pertambangan di
desa mereka.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
Batubara Mematikan 19
Ibu Yanti, penduduk kelurahan Selili, Kecamatan
Samarinda Timur
“Sejak di PHK dari tempat kerja saya yang lama,
saya tak punya pilihan lagi selain bekerja sebagai
buruh pemungut batubara. Sering saya sedih
melihat teman saya yang meski sedang hamil tua
harus tetap bekerja. Kami memang tak punya pilihan
selain bekerja di tempat ini.”
gambar Sepatu bekas yang teringgal
di lokasi pertambangan batubara yang
telah ditinggalkan di Samarinda.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
g a m b a r Salah seorang pemungut batubara di
pertambangan batubara skala kecil di Samarinda
Lia, seorang mahasiswi Universitas Mulawarman
“Sejak dua tahun terakhir ini, banjir benar-benar
mengganggu aktivitas saya sebagai mahasiswa.
Pernah saya dan seorang teman nyaris hanyut oleh
air bah, ketika banjir melanda kampus saya.”
B. Pembangunan PLTU Cirebon dan proses
pemiskinan masyarakat
Sejak PLTU Cirebon memulai proses pembangunannya pada awal
tahun 2008, Kasneri, 48 tahun, tidak lagi mempunyai pekerjaan tetap.
Kini hampir setiap hari, ia hanya menghabiskan waktu di rumahnya
yang sempit dan reyot di Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon. Hanya sesekali jika ada ajakan dari
tetangganya sekampung untuk membantu mereka menggarap
sawah, baru Ibu Kasneri mendapatkan penghasilan, itupun hanya
sebesar 10.000 rupiah sebagai upah untuk enam jam bersimbah
peluh bekerja di ladang milik tetangganya dibawah sengatan sinar
matahari Cirebon yang terkenal menusuk.
Sebelumnya sebagai pengusaha terasi tradisional, Kasneri mampu
mendapatkan paling kurang 200.000-300.000 rupiah perhari dari hasil
penjualan terasinya. Terasi yang dibuat oleh pengusaha terasi tradisional
di Desa Kanci Kulon terkenal kelezatan dan kekhasan rasanya.
Para pembuat terasi bangga membuat terasi hanya dengan menggunakan
bahan baku dari udang rebon(acetes sp), tanpa ada campuran lain.
Udang-udang kecil ini mereka dapatkan dari hasil melaut di sepanjang
pesisir Kecamatan Astanajapura yang meliputi Desa Waruduwur, Desa
Temu, Desa Kanci Kulon, dan Desa Kanci Wetan. Kasneri sendiri
bekerja bersama suaminya, Dalim, 54 tahun, Kasneri yang bertugas
meracik terasi sementara suaminya Dalim yang bertugas menangkap
udang rebon di laut, sepanjang pesisir Astanajapura.
20 Batubara Mematikan
Sejak PLTU Cirebon memulai proses pembangunannya, Kasneri dan
Dalim, beserta 26 keluarga pembuat terasi tradisional lainnya
kehilangan mata pencaharian mereka. Mereka tak bisa lagi mendapatkan
udang rebon yang merupakan bahan baku pembuatan terasi.
Bila sebelumnya sekali melaut Dalim bisa mendapatkan lebih dari 10
kg udang rebon, tapi sekarang udang rebon seperti menghilang dari
laut. Ternyata penyebabnya adalah proses pengurugan tanah untuk
pembangunan PLTU di sepanjang pesisir Astanajapuralah yang
menyebabkan langkanya udang rebon di laut. Proses reklamasi
menggunakan lumpur dan limbah lainnya dari proses pembangunan
PLTU dan mengubur terumbu karang tempat hidupnya udang.
Setahun lalu, Kasneri termenung memikirkan nasibnya yang sudah
dua hari tak mendapatkan bahan baku untuk pembuatan terasi.
Suaminya, Dalim, sedang terbujur sakit tanpa mampu berobat ke
Puskesmas karena tak mempunyai cukup uang untuk berobat.
Ketika ditanya kenapa tak membawa suaminya ke dokter, Kasneri
berkata: “untuk makan saja kami tak punya uang pak, apalagi untuk
berobat ke dokter”.
Menurunnya tangkapan ikan di
Desa Waruduwur
Desa Waruduwur adalah yang letaknya paling dekat dengan PLTU
bertenaga batubara di Cirebon. Sebagian besar penduduk desa
adalah nelayan. Sebelum PLTU Cirebon dibangun, nelayan hanya
perlu menangkap ikan beberapa meter dari pantai. Tapi setelah
pembangunan PLTU dimulai, mereka harus melaut lebih jauh. Bila
sebelumnya hanya dibutuhkan tiga liter bahanbakar untuk melaut,
sekarang 15 liter saja kadang tidak mencukupi. Tapi selain meningkatnya
jarak tangkapan, ikan yang mereka peroleh jauh berkurang
dibanding tahun-tahun sebelum pembangunan PLTU.
Pak Romansah, nelayan Waruduwur berumur 38 tahun mengatakan,
“tiga tahun lalu kami mudah menangkap kepiting dan udang dekat
pantai, tapi setelah pembangunan PLTU, kami hanya menangkap
lima ekor udang seharinya. Tangkapan ikan juga menurun drastis.38”
Reklamasi tanah untuk pembangunan PLTU sangat berdampak
buruk pada Sungai di desa Waruduwur. Akibatnya, rumah-rumah di
desa kebanjiran tiap datang air pasang.
“Sejak kecil saya tak pernah mengalami banjir seperti ini,” kata Pak
Wahyudi39, seorang penduduk Waruduwur.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
g a m b a r PLTU Cirebon terletak di pesisir Kecamatan Mundu.
Sejak PLTU Cirebon dimulai proses pembangunannya,
masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya
di pesisir tersebut mengalami dampak negatif dengan
menurunnya hasil tangkapan ikan secara drastis.
Batubara Mematikan 21
Aan Anwarudin, salah seorang aktivis mahasiswa
yang menolak pembangunan PLTU Cirebon
“PLTU tidak akan membawa dampak positif apaapa
terhadap penduduk Astanajapura. Dalam masa
pembangunanya PLTU Cirebon sudah mengakibatkan
proses pemiskinan terhadap masyarakat setempat,
seperti petani garam, pengusaha tradisional
terasi, dan nelayan kerang hijau.”
gambar Romansah, salah seorang nelayan di Desa Waruduwur,
sejak PLTU Cirebon mulai beroperasi hasil tangkapan ikan
nelayan di Desa Waruduwur berkurang drastis.
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
©GREENPEACE / HENRI ISMAIL
g a m b a r Pertemuan regional masyarakat yang terpapar dampak batubara. Cirebon-Indonesia.
Aktivis Greenpeace dan Masyarakat Desa Waruduwur meminta pemerintah untuk menghentikan
pembangunan PLTU Batubara dan mulai beralih ke energi terbarukan yang bersih. Hal ini
disampaikan pada penutupan acara pertemuan masyarakat anti batubara yang diadakan oleh
Greenpeace dan dihadiri perwakilan masyarakat yang terpapar dampak negative batubara dari
Indonesia, China, Filipina, dan Thailand.
Pak Romansah, nelayan Waruduwur
“Tiga tahun lalu kami mudah menangkap kepiting
dan udang dekat pantai, tapi setelah pembangunan
PLTU, kami hanya menangkap lima ekor udang
seharinya. Tangkapan ikan juga menurun drastis.”
Hilangnya sumber penghidupan petani
garam tradisional
Samsu, 50 tahun, adalah seorang petani garam di Desa Kanci Kulon.
Samsu dan keluarganya yang sudah turun-temurun selama puluhan
tahun menjadi petani garam. Ia terpaksa kehilangan matapencahariannya
sejak dibangunnya PLTU di desa mereka.
Tanah milik Samsu seluas 4.000 meter persegi, tiba-tiba tidak bisa
lagi dimanfaatkan untuk bertani garam. Tanahnya kebetulan berada
di lokasi tempat pembangunan PLTU Cirebon. Pihak pengembang
didukung aparat permerintah setempat memaksa penduduk untuk
melepas tanah mereka dengan harga yang rendah. Meskipun
mayoritas warga pemilik tanah menolak untuk menjual tanahnya,
pihak pengembang PLTU tetap memaksa mereka untuk melepas
tanahnya. Samsu, adalah salah seorang warga yang sampai saat ini
bertahan untuk tidak menjual tanahnya dengan harga berapapun.
Tanahnya merupakan hartanya yang paling berharga, karena
digunakan untuk menopang hidupnya membuat garam. Dulu dalam
setiap musim panen, Samsu dapat menghasilkan paling kurang 20
juta rupiah tiap 6 bulan. Dengan pendapatannya itu dia bisa
menyekolahkan anak-anaknya dan hidup layak.
Saat dimulainya proses pembangunan PLTU, bersamaan dengan itu
berakhir pula usaha pembuatan garam tradisionalnya. Samsu
mempertahankan tanahnya, tapi karena lokasi tanahnya berada di
tengah-tengah lokasi pembangunan PLTU, Samsu tak bisa lagi
bekerja. Para pengembang PLTU menutup sumber aliran air laut ke
tanahnya, sehingga air garam tak bisa lagi masuk ke ladangnya.
Tanpa air laut, tanahnya tak bisa lagi dimanfaatkan untuk bertani.
Meski demikian, Samsu tetap bertekad melawan kesewenangwenangan
pihak pengembang PLTU terhadap dirinya.
Samsu tidak sendirian mengalami nasib buruk ini, ada puluhan
keluarga petani garam lain yang mengalami nasib serupa dengannya.
22 Batubara Mematikan
Dampak sosial dan ekonomi pembangunan
PLTU bertenanga batubara
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon sedang dalam proses
pembangunan. PLTU ini terletak di Kecamatan Astanajapura, meliputi
4 desa: Desa Kanci Kulon, Kanci Wetan, Warumundu, dan Desa
Citemu. PLTU ini bukan merupakan bagian dari proyek pemerintah
pusat untuk membangun 35 Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara
sebesar 10.000 MW sebelum tahun 2010 di seluruh Indonesia.
Aan Anwarudin, salah seorang aktivis mahasiwa yang menolak
pembangunan PLTU di desanya menyatakan PLTU Cirebon dibangun
tanpa disertai oleh dokumen Analisa mengenai dampak lingkungan
(AMDAL) yang jelas, dan juga tanpa disertai sosialisasi terhadap
masyarakat sekitar lokasi pembangunan.
Menurut Aan, lokasi pembangunan PLTU sangat dekat dengan
pemukiman warga. Pembangkit ini hanya berjarak sekitar 10 meter
dari Desa Kanci Kulon, 450 meter dari Desa Kanci Wetan, 15 meter
dari Desa Waruduwur dan sekitar 100 meter dari Desa Citemu.
Aan bersama masyarakat sekitar lokasi yang menolak pendirian
PLTU di desa mereka bergabung dalam Rakyat Penyelamat Lingkungan
(Rapel), Rapel telah beberapa kali melakukan unjuk rasa dan
protes baik kepada pihak pengembang maupun pemerintah Kabupaten
Cirebon untuk menghentikan proses pembangunan PLTU di
desa mereka.
“PLTU tidak akan membawa dampak positif apa-apa terhadap
penduduk Astanajapura. Dalam masa pembangunanya PLTU
Cirebon sudah mengakibatkan proses pemiskinan terhadap
masyarakat setempat, seperti petani garam, pengusaha tradisional
terasi, dan nelayan kerang hijau,40” kata Aan dalam menjelaskan
keprihatinannya.
Masyarakat Kanci, menurut Aan, takut akan dampak buruk dari PLTU
bertenaga batubara jika sudah beroperasi nanti. Mereka sadar akan
apa yang dialami oleh masyarakat sekitar PLTU Cilacap bisa
menimpa mereka juga. Mereka mendengar masyarakat sekitar lokasi
PLTU Cilacap menghadapi berbagai dampak negatif, mulai dari
meningkatnya penyakit pernafasan di desa-desa sekitar PLTU, lahan
pertanian yang mati akibat limbah batubara, dan serbuan debu
batubara yang membuat udara di sekitar desa mereka tidak lagi layak
untuk dihirup.
Batubara Mematikan 23
C. Cilacap
Pada tahun 2006, Cilacap, kota industri yang berkembang dipenuhi
optimisme. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan
pembangunan PLTU bertenaga batubara baru di wilayah mereka.
Namun bertentangan dengan harapan awal akan pertumbuhan
ekonomi, biaya sebenarnya yang ditanggung kota di Jawa Tengah ini
akhirnya menjadi sangat jelas.
Tujuan awal pembangunan PLTU adalah memancing pertumbuhan
ekonomi. Lalu selanjutnya, hal ini akan membantu mengembangkan
wilayah industri Cilacap menjadi 2.000 hektar – lebih dari 10 kali luas
sebelumnya41. Pada awal proyek ini, pemerintah melihat dengan
bangga. PLTU menghasilkan 600 Megawatt listrik ke jaringan
Jawa-Bali. Banyak pekerjaan baru diciptakan, menyebabkan
peningkatan dalam penjualan material bangunan. Beberapa
masyarakat setempat mendapatkan uang dengan menyewakan
rumahnya bagi para insinyur pembangunan.
Tapi tidak lama setelahnya kenyataan tiba – dan semua dimulai
dengan awan hitam debu yang menutup kota kecil ini.
Alia berumur empat tahun dan tinggal dengan orangtuanya dan dua
kakaknya. Yang membatasi rumah mereka dengan PLTU bertenaga
batubara itu hanya sebuah sawah yang terbengkalai sejauh 300
meter. Di awal-awal beroperasinya PLTU, Alia bermain dengan
senangnya dengan kawan-kawannya di luar rumah mereka. Pertanda
kecil bahaya yang ada hanya batuk yang tidak henti-hentinya dari
anak-anak ini.
Hal ini merupakan pertanda datangnya sesuatu yang lebih serius:
tujuh bulan yang lalu, Alia didiagnosa dengan bronchitis. Ayahnya
juga terkena penyakit yang sama. Ia bekerja di PLTU selama lebih
dari satu tahun, memindahkan batubara dari truk tanpa masker dan
menghirup semua debu yang beterbangan. Sekarang paru-parunya
terdapat flek.
Seorang anak perempuan lain yang menderita adalah Safira yang
berumur tiga tahun. Ia terlalu kecil untuk usianya dan mengalami
batuk pilek dua kali tiap bulannya sejak ia lahir. Ibunya, Rohimah,
tidak mampu membawanya ke dokter. Obat satu-satunya yang
diberikan kepada Safira hanya obat-obatan demam dan batuk yang
dibeli di warung.
Purwanto, seorang dokter setempat, mengatakan pada kami bahwa:
“Kurangnya nutrisi menyebabkan banyak ibu di wilayah ini tidak dapat
menyusui anaknya, dan menurunkan ketahanan bayinya terhadap
infeksi. Saya telah melihat pergeseran ke lebih banyak infeksi
pernafasan pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa di
wilayah ini sejak beroperasinya PLTU.42” Purwanto sangat akrab
dengan penderitaan anak-anak di sekitar PLTU, karena ia sendiri
yang dulunya tinggal di wilayah yang sama terpaksa pindah karena
kedua anaknya terkena bronchitis.
gambar PLTU Karang Kandri Cilacap:
PLTU Cilacap terletak di Kecamatan
Kesugihan, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Sejak awal beroperasi PLTU Cilacap
sudah menimbulkan berbagai dampak
negatif terhadap masyarakat sekitar.
©GREENPEACE / ARDILES RANTE
g a m b a r Ibu dan anak.
Alya, gadis kecil berumur 4 tahun, ditenangkan oleh
Ibunya Siti Soliah, 23 tahun. Menurut dokter setempat,
anak ini menderita bronchitis, Mereka tinggal di Kuasen,
dusun kecil berjarak hanya sekitar 50 meter dari PLTU
Cilacap. Sejumlah besar masyarakat yang tinggak di
sekitar PLTU menderita penyakit-penyakit yang terkait
dengan pernafasan.
Purwanto, dokter di daerah Cilacap
g a m b a r Sejak PLTU Cilacap beroperasi dan mengakibatkan
dampak kesehatan terhadap masyarakat sekitar, banyak rumah
di Griya Kencana Permai, perumahan terdekat dari PLTU,
ditinggalkan oleh penghuninya.
©GREENPEACE /ARDILES RANTE
©GREENPEACE /ARDILES RANTE
“Kurangnya nutrisi menyebabkan banyak ibu di
wilayah ini tidak dapat menyusui anaknya, dan
menurunkan ketahanan bayinya terhadap infeksi.
Saya telah melihat pergeseran ke lebih banyak
infeksi pernafasan pada anak-anak dibandingkan
dengan orang dewasa di wilayah ini sejak beroperasinya
PLTU.”
Sugriyatno, penghuni kompleks perumahan
dekat PLTU, sekaligus kepala gerakan protes
terhadap kerusakan yang diakibatkan PLTU
“Suaranya datang dan pergi tiap lima menit. Kami
tidak bisa mendengar suara kita sendiri saat berbicara.
Akhirnya kita ketahui bahwa mereka sedang
membersihkan pipa-pipa mereka”
24 Batubara Mematikan
Batubara Mematikan 25
Polusi udara
Tidak seperti Purwanto, Imam Sarjono, seorang pensiunan berumur
59 tahun, memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Ia bekerja keras
untuk membeli rumahnya setelah menabung selama karirnya sebagai
petugas penjaga penjara. Ketika ia membeli rumahnya bersama 200
orang lainnya, mereka membayangkan akan tinggal di tempat yang
prima, berudara segar dan jauh dari keramaian pusat kota Cilacap.
Sekarang, debu hitam menutupi anggrek putih dan melatinya yang
ditanam Sarjono di muka rumahnya. Pohon-pohon di sekitar,
daun-daunnya semua berlapis debu hitam. Puluhan orang terpaksa
pindah karena debu batubara ini dan suara berdengung yang terus
menerus terdengar dari PLTU.
“Kami membayar rekening air dua kali lipat untuk membersihkan
rumah kami. Kami harus menyapu berkali-kali untuk membersihkan
debu ini,” kata Sarjono. “Banyak tetangga kami yang pindah. Siapa
yang tahan hidup begini?”43
Hilangnya mata pencaharian
Polusi dari PLTU berdampak buruk pada kemampuan banyak orang
untuk hidup di tanah sekitarnya. Sekitar 12 hektar sawah produktif di
dua desa praktis rusak setelah PLTU membanjirinya dengan air laut
panas bercampur buangan dari PLTU. Insiden ini memaksa seorang
petani, Noto, dan anaknya mencari pekerjaan lain setelah sawah
mereka rusak. Sekarang untuk mendapatkan uang, mereka menggali
pasir dan membawanya kembali ke desa mereka dengan perahu
kecil. Bekerja 10 jam sehari mulai pukul 6 pagi, mereka harus
membanting tulang hanya untuk memenuhi sebuah truk kecil.
Pendapatan Noto tidak pernah lebih dari 80.000 rupiah per hari44.
Bersama banyak tetangganya, kehilangan sawah mereka tidak
memberinya banyak pilihan untuk bekerja lain. Pada kenyataannya,
Noto dan anaknya adalah termasuk yang beruntung – banyak
tetangganya tidak bekerja sama sekali.
Sebuah perlawanan
Penyakit yang datang, polusi dan penurunan kualitas hidup memukul
banyak penduduk yang tinggal di sekitar PLTU. Suatu pagi hari pada
akhir 2005, penduduk sekitar dibangunkan oleh suara sangat keras
dari PLTU. Penduduk mengatakan suaranya seperti sebuah pesawat
terbang akan terbang landas di dekat mereka.
“Suaranya datang dan pergi tiap lima menit. Kami tidak bisa mendengar
suara kita sendiri saat berbicara. Akhirnya kita ketahui bahwa
mereka sedang membersihkan pipa-pipa mereka,” kata Sugriyatno,
yang juga tinggal di kompleks perumahan dekat PLTU45. Insiden ini
mendorong penduduk kompleks perumahan bersama dengan tiga
desa sekitar untuk berkumpul dan memprotes berbagai masalah
yang diakibatkan PLTU. Mereka membentuk komite agar keluhan
mereka didengar oleh pemerintah daerah dan oleh pengelola PLTU.
Sugriyatno, yang mengepalai gerakan ini mengatakan bahwa: “Kami
menegosiasikan kompensasi kerusakan di tiga desa dan kompleks
perumahan Griya Kencana Permai yang diakibatkan oleh operasi
PLTU. Belakangan sangat banyak kerusakan. Tapi kami masih
optimis akan ada solusi positif yang keluar.”46
Ia juga menunjukkan bahwa pemilik PLTU tidak pernah menunjukkan
simpati atau menawarkan dukungan pada lingkungan yang
dirusaknya. Masyarakat sekitar tidak akan mengalah; tapi tampaknya
demikian pula para penyebab polusi.
Bagian 5: Saatnya Melakukan [R]evolusi Energi di Indonesia!
Dalam laporan ini, kami telah tunjukkan kerusakan yang diakibatkan
oleh batubara sepanjang rantai kepemilikannya – sejak dari penambangannya
dari perut bumi sampai apa yang ditinggalkannya setelah
dibakar.
Kami telah memaparkan kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan
– dari penyakit paru-paru hitam sampai kebakaran batubara
dan drainase asam tambang. Kami membongkar dampak lokal dan
global yang ditimbulkan oleh pembangkit listrik bertenaga batubara,
termasuk penumpukan gas rumahkaca di atmosfir yang merupakan
ancaman besar. Kami juga telah menyoroti warisan batubara –
bahaya yang sering terlupakan akibat tambang yang ditinggalkan dan
usaha reklamasi yang seringkali tak berhasil.
Biaya batubara sebenarnya menggarisbawahi mendesaknya tindakan
untuk menghindari konsekuensi bencana masa depan yang dimotori
oleh batubara.
Pilihan lain selain batubara tersedia melimpah di sekitar kita. Greenpeace
memaparkan sebuah cetak biru praktis dalam [R]evolusi
Energi: Tinjauan Energi Berkelanjutan Indonesia47.
Energi Terbarukan
Alam menyediakan begitu banyak pilihan sumber-sumber energi yang
bisa diperbarui. Persoalannya tinggal bagaimana mengubah sinar
matahari, angin, biomassa, atau air menjadi listrik, panas, serta
tenaga gerak secara efisien, berkelanjutan, dan terjangkau oleh
masyarakat.
Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi memiliki daya
rata-rata 1 kilowatt/m2. Menurut Lembaga Penelitian Tenaga Surya,
energi yang dapat disediakan oleh sumber-sumber terbarukan adalah
sebesar 3.078 kali lebih banyak daripada yang dibutuhkan oleh dunia
pada saat ini. Dalam satu hari, misalnya, sinar matahari yang
mencapai bumi bisa memproduksi energi yang dibutuhkan oleh dunia
selama 8 tahun. Walau hanya beberapa persen saja dari selurh
potensi tersebut yang dapat diakses secara teknis ini pun masih bisa
mencukupi kurang lebih 6 kali lebih banyak daripada yang dibutuhkan
oleh dunia pada saat ini.
26 Batubara Mematikan
©GREENPEACE / HOTLI SIMANJUNTAK
Sumber-sumber Energi Terbarukan di Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di khatulistiwa.
Ini berarti radiasi rata-rata harian di kebanyakan tempat di
Indonesia intensitasnya relatif tinggi, sekitar 4 kWh/m2, menawarkan
potensi yang besar untuk energi tenaga surya. Indonesia juga
memiliki potensi yang besar untuk memanfaatkan sumbersumber
energi terbarukan lainnya, seperti panas bumi, tenaga air,
angin, dan biomassa.
Pada akhir 2005, sumber-sumber energi terbarukan berkontribusi
hanya kurang dari 5% dari seluruh kapasitas listrik terpasang di
Indonesia (28 GW), atau setara dengan 1,345 GW. Jumlah ini
tidak termasuk listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik
Tenaga Air skala besar yang berjumlah sekitar 15% (4,1 GW).
Rencana pengembangan sumber-sumber energi terbarukan
dicantumkan dalam Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional yang
dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral
(ESDM) tahun 2005 yang fokus pada produksi dan perakitan lokal
dalam rangka pengembangan industri energi terbarukan di
Indonesia.
g a m b a r Greenpeace menyumbangan pembangkit listrik
tenaga surya kepada desa pesisir di Aceh. Indonesia. Salah
satu wilayah yang paling parah dihantam tsunami pada Bulan
Desember, 2004. Bekerjasama dengan UPLINK, LSM
pembangunan lokal, Greenpeace menawarkan keahliannya
pada efesiensi energi dan memasang pembangkit energi
terbarukan untuk salah satu desa yang paling parah dihantam
tsunami tahun 2004 lalu.
©GREENPEACE / SIMON LIM
Batubara Mematikan 27
Energi Air
Indonesia secara teoritis memiliki potensi energi air sebesar 75 GW.
Pembangkit listrik tenaga air skala kecil, yang secara umum siap
diaplikasikan pada lansekap sungai-sungai alami dibandingkan PLTA
skala besar, saat ini mencakup kapasitas terpasang sebesar 84 MW.
PLTA skala kecil ini dibedakan menjadi PLTA mikrohidro dengan
output sampai dengan 25 kW, dan PLTA minihidro dengan output
sampai dengan 500 kW. Potensi untuk PLTA mikrohidro terutama
terdapat di Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan
Sulawesi Tengah. Sementara untuk PLTA minihidro dapat diaplikasikan
di Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Sampai tahun 2007 terdapat lebih dari 200 PLTA mini dan mikrohidro
yang telah beroperasi, terutama di wilayah-wilayah yang tidak dilalui
jaringan PLN. Karena pembangunan PLTA mini dan mikrohidro relatif
tidak mahal dan mudah dioperasikan, sumber energi ini menarik bagi
investor dan koperasi-koperasi lokal.
Di masa depan, sumber energi yang berasal dari arus dan gelombang
juga akan siap dimanfaatkan. Potensi teoretis dari sumber
energi ini di Indonesia adalah 240 GW. Teknologi untuk mengubah
sumber energi ini menjadi lsitrik saat ini masih dalam tahap eksperimen
– saat ini terdapat satu instalasi percontohan dengan kapasitas
1,1 MW di Pantai Baron, Yogyakarta.
Energi Angin
Karena sedikitnya pertukaran angin terjadi di wilayah Indonesia,
potensi energi ini tidaklah terlalu besar, yaitu hanya sejumlah 9.290
MW. Kecepatan angin rata-rata di Indonesia adalah 3-5 m/detik. Di
wilayah timur Indonesia, kecepatan angin bisa mencapai di atas 6,5
m/detik. Dengan demikian, sumber energi angin lebih cocok
diaplikasikan pada turbin pembangkit listrik berukuran kecil atau
sedang, yang memerlukan angin berkecepatan 2,5-4 m/detik dan
4-5 m/detik berturut-turut, dengan output sampai dengan 10 kW dari
turbin ukuran kecil, dan 10-100 kW dari turbin ukuran menengah.
Hanya ada sedikit tempat di Indonesia yang bisa memproduksi listrik
lebih dari 100 kW yang memerlukan kecepatan angin lebih dari 5
m/detik.
Potensi energi angin terutama terdapat di wilayah Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur, yang memiliki kecepatan angin
rata-rata lebih dari 5 m/detik. Dengan total kapasitas terpasang
sebesar 5 MW pada tahun 2007, berarti hanya sedikit saja dari total
potensi yang ada yang telah dimanfaatkan. Turbin angin ukuran kecil
telah diaplikasikan di wilayah-wilayah pedesaan, ataupun untuk
sistem energi yang terdesentralisasi – untuk memompa air, mengisi
baterai, dan untuk kebutuhan mekanis seperti mengalirkan air ke
tambak atau kolam-kolam ikan.
Biomassa
Indonesia memiliki potensi teoretis yang cukup besar untuk memproduksi
energi dari biomassa, yaitu sebesar 50.000 MW. Setiap
tahunnya Indonesia menghasilkan limbah atau sisa buangan pertanian,
kehutanan dan perkebunan serta sampah domestik sebesar
200 juta ton. Berdasarkan perkiraan resmi, sekitar 35% energi yanh
dikonsumsi di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, berasal dari
biomassa – terutama dari kayu bakar.
Pada akhir tahun 2005 kapasita terpasang total pembangkit listrik
bertenaga biomassa adalah sekitar 445 MW. Gas yang dihasilkan
dari tempat-tempat pembuangan sampah di Indonesia juga merupakan
potensi yang besar. Diperkirakan TPA yang ada di 12 kota besar
di Indonesia memiliki total kapasitas pembangkitan listrik sebesar 566
MW.
gambar turbin energi angin di pagi hari di daerah ladang
angin Datang di ladang angin Saibanha di Chifeng,
Mongolia. Ladang angin Saibanha memiliki
kapasitas 49.5 MW dan pembangkit listriknya
menghasilkan 275.14 GWh.
Energi Surya
Sebagai negeri tropis dengan radiasi matahari sebesar 4,8 kWh/m2
dan 300 hari bermatahari setiap tahunnya, Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar untuk memanfaatkan tenaga surya.
Sistem photovoltaic (PV), terutama sistem tenaga surya rumah
tangga (SHS, solar home systems), dapat digunakan di wilayah
pedesaan untuk memproduksi listrik bagi kebutuhan penerangan
rumah, pompa air, peralatan telekomunikasi, dan sistem pendingin
medis di puskesmas. Sejak tahun 1980-an sebanyak 50.000 SHS
telah dipasang, dan menggunakan sistem hibrid, misalnya mengkombinasikannya
dengan generator diesel, juga telah banyak dipakai. Di
akhir tahun 2005 kapasitas terpasang di Indonesia mencapai 8 MW,
dimana 1 MW diantaranya telah dialirkan ke jaringan listrik PLN.
Pada tahun 1990an pemerintah Indonesia mulai Secara sistematis
mempromosikan penggunaan sistem photovoltaic terisolasi untuk
mencukupi kebutuhan listrik pedesaan yang tidak terlayani jaringan
PLN dan sejak 2004 bank-bank swasta telah menyediakan pinjaman
untuk pembelian sistem PV. Beberapa rencana kelistrikan nasional
juga telah memasukkan transfer sebagian rantai produksi sistem
tenaga surya ke Indonesia untuk mengurangi ketergantungan
terhadap import. Penggunaan PV tidak hanya dapat diterapkan di
pedesaan yang tidak terjangkau jaringan PLN dan terdesentralisasi,
namun juga dapat diterapkan di perkotaan dimana mekanisme
feed-in dapat digunakan.
28 Batubara Mematikan
Energi Panas Bumi (Geothermal)
Deretan pegunungan berapi (vulkanik) yang terhampar di sepanjang
pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku
memberi berkah bagi Indonesia dengan potensi sumber energi panas
bumi, jumlahnya sekitar 40% dari total potensi panas bumi dunia.
Menurut perkiraan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
(ESDM) negara Indonesia memiliki 217 lokasi panas bumi potensial,
terutama di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Potensi teoretis panas
bumi Indonesia diperhitungkan sebesar 27.000 MW. Pada akhir
tahun 2004 hanya 807 MW atau sekitar 3% dari potensi tersebut
yang telah dimanfaatkan.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang ada saat ini
dioperasikan oleh PLN dan kontraktornya. Di masa datang, produsen
listrik independen (IPP, Independent Power Producers) diharapkan
dapat berperan lebih besar dalam pengembangan, pemanfaatan dan
pencarian lokasi potensial baru dari sumber energi ini.
Pada tahun 2005 pemerintah mengalokasikan 28 lokasi baru dengan
kapasitas total sebesar 13.500 MW yang juga telah menarik minat
beberap ainvestor. Sampai saat ini masih banyak lokasi yang
diperuntukkan bagi proyek pemerintah. PLN sendiri merencanakan
untuk membangun 16 PLTPB dengan kapasitas total sebesar 1.150
MW. Pertamina, perusahaan minyak dan gas nasional, juga terlibat
dalam konstruksi beberapa PLTPB baru.
gambar
Undang-Undang Energi Terbarukan Sekarang.
Aktivis Greenpeace di Filipina melakukan aksi
damai menuntut agar pemerintah Filipina
segera mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Energi Terbarukan di Filipina.
Sejarah membuktikan, sejak disahkan UU
tersebut di Filipina, pengembangan energi
terbarukan di negara tersebut lebih cepat dari
sebelumnya. Indonesia harus segera
menghilangkan berbagai hambatan dalam
pengembangan energi terbarukan di negeri
ini. Salah satunya dengan segera memiliki
UU Energi Terbarukan.
[R]evolusi Energi untuk Kedaulatan dan
Akses Energi untuk Semua
Setelah krisis ekonomi tahun 1998, sektor energi Indonesia mengalami perubahan
yang cukup dinamis yang dipicu oleh pertumbuhan permintaan energi, perubahanperubahan
kebijakan di sektor energi, serta perubahan lain akibat kenaikan harga
minyek di pasar internasional. Indonesia saat ini telah menjadi negara pengimpor
minyak (net importer) karena produksi minyak nasional terus mengalami penurunan.
Saat ini pun produksi gas juga mengikuti produksi minyak bumi yang menurun. Oleh
karenanya menjadi penting bagi Indonesia untuk memperhatikan keberlanjutan suplai
energi nasional dan juga meningkatkan penggunaan sumber energi lainnya yang lebih
ramah lingkungan – yaitu energi terbarukan.
Namun, tanpa adanya kemauan politik (political will), energi terbarukan tidak akan
pernah berkembang dan dianggap merugikan akibat distorsi pasar listrik yang diciptakan
oleh besarnya dukungan keuangan, politik, dan struktur bagi teknologi kelistrikan
konvensional. Oleh karenanya, pengembangan energi terbarukan mutlak memerlukan
dukungan politik dan ekonomi yang kuat dari negara, terutama dalam bentuk kebijakan
yang menjamin stabilitas harga sampai periode 20 tahun.
©GREENPEACE / ISTIMEWA
Batubara Mematikan 29
Bagian 3: Jejak penghancuran batubara: dari galian ke gagasan
Adanya target energi terbarukan yang
ambisius
Dalam beberapa tahun terakhir, dipicu oleh keinginan untuk menurunkan
secara drastis gas rumah kaca, beberapa negara telah
mencanangkan target untuk pengaplikasian energi terbarukan. Hal
tersebut dituangkan baik dalam kapasitas terpasang, maupun dalam
konsumsi energi. Walaupun target ini seringkali bukanlah target yang
mengikat secara hukum, namun ini menjadi penting sebagai katalis
untuk meningkatkan alokasi energi terbarukan di dalam bauran energi
(energy mix) secara nasional.
Berdasarkan Cetak Biru Pengelolaan energi Nasional tahun 2005,
pemerintah Indonesia hanya menargetkan kurang dari 10% dari
bauran energi (energy mix) yang berasal dari energi terbarukan.
Angka ini sama sekali tidak ambisius, apalagi melihat begitu
melimpahnya sumber energi terbarukan yang ada di Indonesia.
30 Batubara Mematikan
Tuntutan bagi energi terbarukan
Tuntutan utama untuk memungkinkan pengembangan energi
terbarukan:





Penghapusan subsidi bagi energi fosil dan nuklir, dan menginternalisasi
biaya-biaya eksternal;
Menetapkan target energi terbarukan yang mengikat secara
hukum;
Penyediaan manfaat yang tertentu dan stabil bagi investor;
Menjamin adanya akses prioritas ke jaringan bagi pembangkit
energi terbarukan; dan
Standar efisiensi yang ketat bagi semua perangkat yang mengkonsumsi
energi, bangunan dan kendaraan bermotor.
Beberapa hal di bawah ini adalah rekomendasi Greenpeace untuk bisa membuka
kunci kemacetan pengembangan energi terbarukan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus dilakukan untuk menghapuskan atau mengkompensasi beberapa distorsi dalam
sektor ketenagalistrikan:
Penghapusan perangkat kebijakan penyebab distorsi pasar energi – Penyebab utama yang menghambat pengaplikasian energi terbarukan secara
masif adalah kurangnya struktur harga di pasar energi yang benar-benar mencerminkan harga produksi energi yang sebenarnya. Beberapa hal yang perlu
dilakukan adalah:
• Internalisasi biaya lingkungan dan sosial dari energi yang menimbulkan pencemaran (energi kotor)
Harga sebenarnya dari energi kotor juga termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat akibat gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan,
tercemarnya sumber-sumber air, serta pencemaran logam berat seperti merkuri dan terjadinya hujan asam – selain dampak global seperti pemanasan
global. Biaya-biaya ini, yang biasa disebut sebagai biaya eksternal, tidak pernah dimasukkan dalam komponen harga dari energi kotor.
• Menerapkan prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Seperti halnya subsidi lainnya, biaya eksternal haruslah dimasukkan dalam harga energi jika memang benar-benar diinginkan adanya pasar yang
kompetitif. Untuk itu pemerintah perlu menerapkan prinsip “pencemar membayar” yang membebankan tanggung jawab lebih terhadap pencemar, atau
memberikan kompensasi secara adil kepada non-pencemar. Selain itu perlu adanya adopsi pajak yang lebih besar kepada penghasil listrik yang
menggunakan energi kotor dan sebaliknya memberikan kompensasi atau keringanan pajak bagi sumber-sumber energi terbarukan. Dengan demikian
maka dapatlah diharapkan adanya kompetisi yang lebih setara diantara pemain-pemain di sektor energi.
Reformasi Sektor Ketenagalistrikan – Teknologi energi terbarukan sangatlah kompetitif jika saja diberikan perhatian yang setara dengan teknologi lainnya
dalam hal pendanaan dan subsidi bagi riset dan pengembangan teknologinya, serta jika biaya eksternal juga diperhitungkan dalam harga energi. Oleh
karenanya reformasi di sektor ketenagalistrikan sangatlah penting untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan energi terbarukan secara
maksimal. Reformasi yang diperlukan yaitu:
• Penghapusan hambatan-hambatan di sektor ketenagalistrikan, dengan melakukan:
o Penyederhanaan prosedur dan sistem perijinan, serta penyeragaman sistem perencanaan dan perencanaan jaringan yang lebih terintegrasi;
o Akses yang setara terhadap grid, dengan penetapan harga yang transparan dan setara, serta penghapusan akses dan tarif transmisi yang diskriminatif;
o Sistem penetapan tarif yang transparan di seluruh jaringan, dengan memperhitungkan dan pembayaran keuntungan dari pembangkitan listrik;
o Pemisahan (unbundling) sarana pembangkit dan jaringan distribusi ke beberapa perusahaan;
o Pembebanan biaya pembangunan infrastruktur jaringan kepada otoritas pengelolaan jaringan, dan bukannya kepada setiap pembangkit energi terbarukan; dan
o Transparansi informasi kepada konsumen tentang campuran bahan bakar dan dampak lingkungan yang diakibatkan untuk memberikan pendidikan
kritis kepada konsumen.
Batubara Mematikan 31
• Prioritas akses terhadap grid
Peraturan-peraturan yang terkait dengan akses terhadap grid, transmisi, dan pembiayaan seringkali tidak memadai. Peraturan perundangan haruslah
diperjelas, terutama terkait dengan biaya distribusi dan transmisi. Pembangkit energi terbarukan haruslah diberikan akses prioritas. Jika diperlukan,
pengembangan jaringan atau biaya untuk penguatan jaringan haruslah dibebankan kepada operator grid, dan juga kepada konsumen, karena manfaat
lingkungan dari energi terbarukan juga dirasakan oleh publik.
• Adanya mekanisme pendukung bagi energi terbarukan
Secara umum terdapat dua jenis insentif untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, yaitu Fixed Price System (Sistem Harga Tetap) dan
Renewable Quota System (Sistem Kuota Terbarukan).
Sistem Harga Tetap adalah suatu sistem dimana pemerintah menetapkan harga listrik (atau premium) yang dibayarkan kepada pembangkit dan membiarkan
pasar menentukan kuantitas. Sementara Sistem Kuota Terbarukan adalah suatu sistem dimana pemerintah menetapkan kuota listrik yang dihasilkan
pembangkit energi terbarukan dan membiarkan pasar menentukan harga.
Beberapa mekanisme dalam sistem harga tetap adalah:
o subsidi terhadap investasi
o feed-in tariff yang tetap
o sistem premium tetap
o kredit pajak
Sementara mekanisme dalam sistem kuota adalah:
o sistem tender
o sertifikat hijau yang bisa diperdagangkan
Di Indonesia, seperti di banyak wilayah dunia,
masyarakat mulai menyadari kenyataan pahit ketergantungan
pada batubara untuk energi, serta mulai bergerak
untuk membela hak mereka akan lingkungan yang bersih
dan sehat. Gerakan-gerakan ini kuat dan mulai mendapatkan
momentum. Pemerintah Indonesia harus mendengar
seruan mereka dan meletakkan dasar pembangunan
yang hijau dan adil lingkungan yang
memastikan kesejahteraan
generasi-generasi mendatang
negri ini.
Greenpeace adalah organisasi
kampanye global yang bertindak
untuk merubah sikap dan perilaku,
melindungi dan mengkonservasi
lingkungan serta mempromosikan
perdamaian.
Greenpeace Asia Tenggara - Indonesia
Jalan Kemang Utara
Nomor 16 B1
Jakarta Selatan 12730
Tel: +62 21 718 2858
Fax: +62 21 718 2857
greenpeace.org/seasia
1 Biaya Batubara Sebenarnya, Greenpeace Internasional, Desember 2008.
2 Statistik Energi Indonesia 2009, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Republik
Indonesia.
3 Coal Statistic, World Coal Institute, September 2010.
4 Tingkatan batubara antara batubara bituminus (kandungan karbon 68 - 86%) dan
antrasit (dengan kandungan karbon tertinggi)
5 Batubara yang telah diproses untuk peleburan besi.
6 Departemen Geologi, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
7 Coal Statistics, World Coal Institute, September 2010.
8 Henderson, C., 2003. Clean Coal Technologies, report no. CCC/74.
London: IEA Clean Coal Centre, October 2003.
9 Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral.
10 Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025, Kementrian Energi dan Sumber
daya Mineral.
11 ESDM (2009) Statistik Batubara 2008, Kementrian Energi dan Sumber daya
Mineral http://www.esdm.go.id/download/Statistik_Batubara_Indonesia.pdf (diakses
September 2010).
12 Idem
13 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumberdaya Mineral (2009) Indikator Kunci
Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia, 2008.
14 Kajian Kebijakan Energi Indonesia, Badan Energi Internasional, 2008.
15 Laporan tentang Pertambangan di Indonesia dengan fokus Kalimantan Timur dan
Selatan, serta Sumatra Selatan, dikomisikan oleh Greenpeace Asia Tenggara, 2009.
16 Mulyono, J. (2009) Tinjauan Industri Batubara Indonesia, dipresentasikan dapal dialog
Kebijakan Batubara Indonesia-Jepang dan Seminar Batubara Tokyo, Maret 26-27, 2009.
17 Kantor Kesehatan Kabupaten Kutai Barat, Juni 2009.
18 Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), analisis dari berbagai sumber, Oktober 2008.
19 Idem
20 Siaran Pers Worldwatch Institute, “Phasing out Coal: Environmental Concerns,
Subsidy Cuts Fuel Decline”.
21 External Costs: Research results on socio-environmental damages due to electricity and
transport, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities, 2003.
22 Kenyamanan di sini didefinisikan sebagai kelebihan sifat dari sebuah properti yang
tidak esensial bagi penggunaan properti tersebut, tapi dapat meningkatkan nilainya.
Misalnya termasuk kolam renang, lapangan tenis, pemandangan indah, akses pada
bidang air, dst. www.secured-loan.co.uk/glossary-loans.html
23 U.S. EPA, Office of Water, “Air Pollution and Water Quality: Atmospheric
Deposition Initiative: Where is the Air Pollution Coming From?” Available online at
http://www.epa.gov/owowwtr1/oceans/airdep/air5html. (U.S. EPA, Mercury Report to
Congress, 1997, Vol. 1).
24 National Wildlife Federation, “Clean the Rain, Clean the Lakes: Mecury in Rain is
Polluting the Great Lakws,” p. 4, September 1999.
25 Idem
26 http://www.epa.gov/mercury/effects.htm
27 Toxicological Effects of Methylmercury, National Academy Press, Washington, DC, 2000.
28 Idem
29 Idem
30 Kantor Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan, Mei 2009.
31 16 Toxics A to Z: A Guide to Everyday Pollution Hazards by John Harte, Richard
Schneider, Christine Shirley and Cheryl Holdren, University of California Press, Berkeley
and Los Angeles, 1991
32 Wawancara dengan Ibu Soniya, penduduk desa Rimbawan, Tanah Merah, Kabupaten
Samarinda Ilir, 23 Agustus 2010.
33 Wawancara dengan Lia, mahasiswa Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan
Timur, 30 Agustus 2010.
34 Batubara Indonesia: dampak lokal, kaitan global, Down to Earth, No. 85-86, Agustus 2010.
35 Statistik Kemiskinan, Biro Pusat Statistik, BPS, 2010
36 Globe Asia Magazine, Volume 4, Number 6, June 2010
37 Wawancara dengan Ibu Yanti dari Selili Samarinda Timur, 30 Agustus 2010.
38 Wawancara dengan Pak Romansah dari Desa Waruduwur, Cirebon, 17 Oktober 2010
39 Wawancara dengan Pak Wahyudi dari Desa Waruduwur, Cirebon, 17 Oktober 2010.
40 Wawancara dengan Aan Anwarudin, Cirebon, Agustus 2010.
41 Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, 2007. Potensi Unggulan Daerah &
Peluang Investasi Cilacap: Investment Opportunities. Pemerintah Daerah Cilacap.
42 Wawancara dengan dr Purwanto. Cilacap, Indonesia. 22-23 September 2008.
43 Wawancara dengan Imam Sarjono, penduduk kompleks perumahan Griya Kencana
Permai. Desa Karang Kandri, Indonesia. 22-23 September 2008.
44 Wawancara dengan Noto, petani dan penduduk Desa Winong, Indonesia. 22-23
September 2008.
45 Wawancara dengan Sugriyatno, penduduk kompleks perumahan Griya Kencana
Permai. Desa Karang Kandri, Indonesia. 22-23 September 2008.
46 Idem
47 Revolusi Energi: Tinjauan Energi Berkelanjutan Indonesia, Greenpeace Internasional
dan Dewan Energi Terbarukan Eropa